Dipublish di Kompasiana, 13 September 2012
Dimuat di lembaran Kompasiana Freez, Harian Kompas, Edisi Rabu, 19 September 2012 dengan judul, "Beasiswa membawaku keliling dunia"
Dimuat di lembaran Kompasiana Freez, Harian Kompas, Edisi Rabu, 19 September 2012 dengan judul, "Beasiswa membawaku keliling dunia"
![]() |
Kompasiana Freez #60, Harian Kompas, 19/09/2012 |
Hidup sebagai anak pegawai negeri sipil dijaman orde baru mungkin berbeda dengan dijaman reformasi. Tidak ada tunjangan daerah atau kenaikan gaji tahunan seperti jaman reformasi, kalaupun ada tambahan itupun karena ada usaha sampingan beternak ayam pedaging. Namun cukup banyak fasilitas beasiswa yang diberikan untuk anak-anak pegawai negeri pada masa itu dan juga apresiasi atas prestasi cukup saya rasakan.
Hidup sederhana itu menjadikan kedua orangtua selalu mengingatkan kami, kedua anaknya, bahwa orang tua kami tidak akan sanggup meninggalkan harta warisan kecuali ilmu. Maka ibu dan bapak selalu menekankan agar kami bisa menuntut ilmu setinggi mungkin selagi kedua orangtua mampu. Hal ini yang menjadikan saya dan abang diberikan fasilitas berupa bacaan yang menunjang. Apa saja yang kami minta selama berhubungan dengan pendidikan, maka tidak ada kata tunggu, ibu dan bapak akan berusaha memenuhi kebutuhan kami. Berbeda jika yang diminta adalah kebutuhan lainnya, seperti sepatu maka akan ada kalimat, “Sabar ya, nak. Tunggu bulan baru”.
Tahun 1990, ibu memperoleh beasiswa training ke Australia disaat saya masih duduk di bangku SD. Sebagai anak yang lahir dikota kecil, tentu saja negara itu terasa begitu jauh dan hanya saya kenal melalui atlas dunia. Ibu memang tidak membawa keluarga kesana karena program beliau hanya selama 6 bulan, namun prestasi ibu menjadi titik balik bagi saya untuk bermimpi agar suatu saat bisa bersekolah keluar negeri mengikuti jejak ibu dan juga menjejakkan kaki diujung-ujung dunia. Keinginan ini semakin kuat ketika tahun 1996, ibu kembali memperoleh beasiswa ke Kanada dan sebagai seorang pendidik, hal ini dijadikan ibu untuk melecut semangat anak-anaknya. Ayahpun begitu, beliau berusaha memenuhi kebutuhan anak-anaknya akan ilmu pengetahuan.
Sayangnya saya tidak berhasil masuk ke perguruan
tinggi negeri pilihan seperti yang diimpikan, disinilah peran ayah dan
ibu menjadikan saya tidak berkecil hati. Mereka berdua mengatakan kalau
memang punya mimpi maka kejarlah mimpi itu dengan berusaha dan berdoa,
selanjutnya biarkanlah Allah yang mengatur ending-nya. Dengan
semangat dan dukungan dari orangtua, menginjak tahun 3 di universitas
saya sudah mulai mencari-cari informasi tentang universitas di luar
negeri. Pada akhir 90-an internet tidaklah semudah dan semurah saat ini,
akibatnya harus efisien dalam menggunakan uang jajan. Syukurlah pada
saat itu saya juga menerima beasiswa dari kampus yang sedikit banyak
membantu menutupi pengeluaran disamping ada beberapa kerja sambilan
sebagai mahasiswi fakultas teknik, seperti membantu membuat gambar dan
sebagainya.
Jangan ditanya banyaknya cemooh dan ejekan yang
saya terima dari kiri kanan karena keinginan bersekolah keluar negeri
ini melalui beasiswa. Lagi-lagi ibu dan bapak membangun kepercayaan
ditambah dengan semangat tidak mau kalah karena pada saat itu ibu
kembali mengambil kuliah disebuah universitas negeri di kota saya. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa jika mimpi itu diperjuangkan, InsyaAllah suatu saat akan terwujud.
Dan pada akhir tahun perkuliahan, saya sudah mulai
berkoresponden dengan berbagai universitas di belahan dunia. Dimulai
dari mempelajari berbagai informasi bagaimana cara untuk menjadi
mahasiswa S2 diluar negeri, dari syarat umum aplikasi universitas hingga
syarat khusus untuk beasiswa. Kemudian menyimpulkan bahwa saya tidak
akan berjuang di jalur beasiswa umum karena beberapa hal yang
mengecilkan peluang memperoleh beasiswa. Salah satunya adalah saya
bukanlah lulusan universitas terkenal, baik negeri ataupun swasta. Hal
ini bukan karena minder, tapi saya membaca hal ini (bisa jadi) menjadi
salah satu indikator seleksi walaupun tidak tertulis dalam persyaratan.
Maka mencari beasiswa internal atau eksternal
kampus adalah alternatif yang dituju. Maka disetiap aplikasi, selalu
saya sebutkan minat untuk me-apply beasiswa dan minta informasi tentang beasiswa yang ada di universitas bersangkutan.
Jangan ditanya berapa banyak sudah aplikasi yang
saya kirim yang berbanding sama dengan penolakan yang diterima. Tapi
dari penolakan yang ada, saya belajar menyempurnakan aplikasi
berikutnya. Akhirnya setelah hampir 2 tahun, pada akhir tahun 2002 saya
diterima di 3 universitas: Wageningen University – Netherlands, Curtin
University of Technology – Australia, dan Chalmers University of
Technlogy – Swedia. Dan setelah melalui berbagai macam pertimbangan
akhirnya saya memutuskan melanjutkan kuliah ke Swedia di program
Management of Logistics and Transportation.
Selepas dari Swedia tahun 2005 dan pulang ketanah
air untuk beberapa waktu, hasrat untuk melanjutkan pendidikan kembali
muncul, apalagi sebuah proposal penelitian sudah dipersiapkan untuk
diusung. Tahun 2006 itu, rasanya waktu seperti kembali kemasa saat
mencari beasiswa untuk S2.
Karena saya bukan pegawai pemerintah dan juga bukan
swasta, maka saya berburu beasiswa di jalur yang sama seperti dulu,
internal dan eksternal kampus. Yang pertama dilakukan adalah mencari
professor yang mau menjadi pembimbing dan kemudian mengirim aplikasi
formal ke universitas. Mencari professor ini cukup alot, apalagi saya
ngotot dengan penelitian saya. Setelah 1 tahun, penelitian saya diterima
oleh professor dari Asian Institute of Technology – Thailand,
University of Woolongong – Australia, dan Lincoln University – Selandia
Baru. Sayangnya, saya hanya memperoleh partial scholarship yang artinya dibutuhkan beasiswa tambahan jika ingin melanjutkan kuliah.
Kembalilah saya mengajukan aplikasi ke berbagai
institusi dan organisasi. Mulai dari Asean Development Bank (ADB) hingga
Soros Foundation pernah saya kirimi email untuk melihat kemungkinan
adanya dana untuk penelitian. Dan, lagi-lagi penolakan dikarenakan
ketiadaan skema bantuan hingga tidak matching-nya penelitian saya dengan visi misi organisasi/institusi.
Menyerah? Tidak. Karena saya yakin ini adalah masalah waktu dan Miracles happen when you least expect them.
Penghujung 2007, saya menerima bulletin dari kampus di Swedia yang
menyatakan bahwa dibuka beasiswa untuk para alumni yang ingin
melanjutkan pendidikan dibidang Management dan Law. Riset saya mengenai kecelakaan penerbangan di Indonesia adalah interdisciplinary studies, yaitu lintas disipilin – socio-engineering studies dan kedua bidang syarat beasiswa tersebut merupakan bagian dari penelitian yang akan saya lakukan. Langsung
saja saya putuskan bahwa aplikasi akan dikirim bersama dengan bukti
bahwa saya sudah diterima di Business Management and Law Group, Faculty
of Commerce, Lincoln University.
Alhamdulillah, Maret 2008 sebuah email selepas maghrib menyatakan bahwa aplikasi saya sukses memperoleh beasiswa Rune Andersson dari
Friends of Chalmers, Swedia dan untuk itu saya diundang kembali ke
Gothenburg untuk menerima beasiswa tersebut. Sepulang dari Swedia, saya
langsung melanjutkan pendidikan saya di Lincoln University untuk program
S3 di aviation safety. Penelitian ini sukses membawa saya
memperoleh beasiswa dari Women in Aviation International dan
International Civil Aviation Organization untuk melakukan traineeship di Markas ICAO, Montreal, Kanada pada tahun 2011.
Segala keterbatasan
yang ada jangan menjadikan kita tidak berani bermimpi besar. Tapi,
impian besar tanpa adanya tindakan yang besar pula hanyalah merupakan
angan-angan. Alhamdulillah, saya berani bermimpi dan saya
berusaha mewujudkannya. Dengan restu dan doa orangtua, saya berhasil
menggapai satu-persatu impian saya melalui beasiswa. Beberapa ujung
dunia sudah saya kunjungi dan saya yakin siapapun bisa. So, who’s going to follow my journey?
No comments:
Post a Comment