Human Error (taken from Google) |
Dipublish di Ilmu Terbang, 2 Oktober 2012
Telinga kita mungkin sudah biasa mendengar kata-kata human error (HE). Contohnya saja ketika terjadi kecelakaan SSJ 100 tanggal 9 Mei 2012 lalu, media tulis dan elektronik ramai memberikan spekulasi adanya human error dengan tendensi menuding pilot error yang berakibat pada tewasnya seluruh penumpang dan kru berjumlah 45 orang yang berada di pesawat naas tersebut. Padahal pada saat itu puing-puing pesawat saja belum ditemukan.
Telinga kita mungkin sudah biasa mendengar kata-kata human error (HE). Contohnya saja ketika terjadi kecelakaan SSJ 100 tanggal 9 Mei 2012 lalu, media tulis dan elektronik ramai memberikan spekulasi adanya human error dengan tendensi menuding pilot error yang berakibat pada tewasnya seluruh penumpang dan kru berjumlah 45 orang yang berada di pesawat naas tersebut. Padahal pada saat itu puing-puing pesawat saja belum ditemukan.
Akhir pekan kemaren, Sabtu, 29 September 2012, sebuah kejadian
kembali menyelimuti dunia penerbangan tanah air. Kecelakaan Bravo 202 dalam
atraksi akrobatik di pagelaran Bandung Air Show 2012 ini mengakibatkan tewasnya
dua orang penerbang Indonesia. Dan spekulasi yang berkembang kembali menuding HE sebagai sebab terjadinya kecelakaan
ini.
Nah, sebenarnya apa sih HE itu? Jika dirunut hingga saat ini, tidak ada konsensus yang
memberikan satu pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan HE. Hal ini
disebabkan terjadinya perbedaan cara pandang terhadap HE itu sendiri berdasarkan sudut keilmuan. Secara sederhana HE dipandang sebagai deviasi dari tindakan
yang seharusnya.
Bagaimana terjadinya HE? Hal inilah yang perlu kita pelajari
lebih jauh sehingga tidak mengklaim bahwa jika ada unsur HE, itu hanya terjadi karena ketidaktahuan. HE mempunyai banyak
bentuk dan terjadi atas berbagai sebab dibelakangnya. Dan ada dua pandangan atas HE ini yang
dijadikan mahzab bagi yang
berkecimpung didunia analisis kecelakaan. Yang pertama adalah HE merupakan
sebab terjadinya kecelakaan, sebaliknya kelompok kedua memandang HE sebagai
akibat dari suatu proses sebelum error terjadi.
HE sendiri umumnya memperlihatkan adanya keterkaitan antara error yang satu dengan lainnya, begitu
juga adanya pengaruh-pengaruh dari luar si manusia itu sendiri, seperti
manajemen, organisasi serta insitusi. Untuk itu sebaiknya kita kenal terlebih
dahulu tiga level performance berdasarkan
psychological and situational mode,
yaitu: Skill-based, Rule-based dan Knowledge-based performance.
- Skill-based performance merupakan performance seseorang atas suatu kondisi rutin. Kegiatan yang dilakukan secara rutin menjadikannya bisa berada pada level terbaiknya karena sudah terprogram dan dilakukan secara terus-menerus.
- Rule-based performance merupakan performance seseorang atas suatu kondisi yang berada pada situasi antara rutin dan tidak. Disini seseorang terkadang harus berhadapan pada situasi yang mengharuskannya mengacu pada panduan-panduan yang ada . Dalam menghadapi situasi ini seseorang akan melakukan suatu tindakan berdasarkan kondisi yang dialaminya yang disesuaikan dengan panduan yang ada.
- Knowledge-based performance merupakan performance seseorang atas suatu kondisi non-routine dan tidak ada panduan untuk mengatasinya. Kondisi ini menjadikan seseorang harus melakukan tindakan yang dia tidak mempunyai referensi sehingga berada pada bukan pada level terbaik performance –nya.
Ketiga kondisi diatas bisa saja terjadi secara bersamaan,
seperti pada dua kejadian di dunia penerbangan Indonesia yang akan saya jadikan
contoh. Berdasarkan performance level diatas,
maka bisa dikategorikan HE, yang secara umum adalah slips, lapses, mistakes dan violations:
- Slips dan Lapses. Kedua kelompok ini diasosiasikan dengan errors dalam kategori skills. Ini terjadi pada situasi rutin namun tindakan yang diambil tidak berjalan sesuai prosedur. Slips berhubungan dengan observasi dimana biasanya akan terjadi attentional or perceptual failures (kesalahan pengamatan atau persepsi). Sedangkan lapses lebih kepada internal seseorang, yaitu berhubungan dengan memori atau ingatan.
- Mistakes. Errors dalam kategori ini berhubungan dengan dua hal, yaitu rule (peraturan) dan knowledge (pengetahuan). Kondisi ini terjadi karena berada dala situasi tidak sepenuhnya mengetahui solusi dari apa yang terjadi karena diluar rutinitas sehingga seseorang harus mengambil keputusan berdasarkan keadaan yang ditemui dan panduan yang dia miliki. Beberapa kemungkinan kesalahan bisa terjadi karena tindakan dilakukan atas dasar panduan yang dimiliki, terlepas dari benar salahnya panduan yang ada. Dan ini merupakan mistakes yang berhubungan dengan rule. Sedangkan errors dalam kategori knowledge terjadi karena tidak adanya pengetahuan dalam menghadapi suatu masalah karena ketiadaan persiapan sehingga suatu keputusan harus diambil tanpa/kurangnya pengetahuan.
- Violations. Untuk kategori ini, errors terjadi karenanya deviasi dari prosedur-prosedur atau standar-standar operasi yang aman. Dalam menentukan level violation (pelanggaran) pun harus berhati-hati karena banyak faktor yang mempengaruhi. Misalnya pelanggaran rutin yang dilakukan karena lemahnya sanksi perusahaan dan biasanya pelanggaran ini dilakukan karena seseorang merasa memiliki skill yang bagus sehingga beberapa prosedur yang bisa diabaikan akan diabaikan. Ada pula pelanggaran yang dilakukan karena motivasi, misalnya ingin memperlihatkan kemampuan landing ditengah situasi yang mengharuskan pilot untuk go around. Namun ada juga violations yang memang harus dilakukan, seperti menolak perintah manajemen untuk terbang karena kondisi pesawat bisa membahayakan penerbangan.
Nah, bagaimana
kalau kita lihat beberapa contoh yang terjadi di dunia penerbangan Indonesia.
Saya akan ambil beberapa kasus kecelakaan di Indonesia dan report-nya sudah dirilis oleh KNKT. Hal ini agar contoh yang
diperlihatkan tidak merupakan suatu praduga namun analisa berdasarkan data resmi
yang dirilis oleh otoritas.
Pada insiden Mandala Airlines MDL 493, 5 April 1999 saat landing ditengah hujan di Bandara Hasannudin,
Ujung Pandang . Menurut hasil
investigasi KNKT ditemukan bahwa:
a.
Both pilot did not recognize that the
weather over the airfield had changed from cloudy (cumulonimbus formation) at
06:30 LT to heavy rain within minutes, at 06:37 LT.
b.
Both pilots showed a lack of situational
awareness during the high work load period of the landing
procedures. The cockpit crew apparently did not rely on flight instruments
readings, but seem to trust visual of the environmental and weather conditions.
The weather information of the ATC (ATIS) was also not acknowledged, which may
be an indication of the possibility of an unawareness of the weather
conditions.
c.
The PIC, who was also the pilot flying, was
quick in his decision making, which apparently made and implemented without
consulting the Co-pilot. The Co-pilot seemed not to be assertive enough
to challenge or comment on the PIC’s decision making and/or handling the
aircraft.
Secara sederhana dari beberapa temuan yang saya ambil
diatas, dapat dilihat adanya indikasi skills-based
errors (slips), rule- based errors (mistakes)
dan juga knowledge-based errors
(mistakes).
Berbeda dengan kasus Mandala Airlines diatas, pada kecelakaan
Dirgantara Air Service AW 3130, 18 November 2000 di Datah Dawai, Kalimantan
Timur ditemukan adanya violations yang
berakibat jatuhnya pesawat beberapa saat setelah take-off. Beberapa hasil temuan KNKT adalah:
a.
PT. DAS standard operating procedures limit the
take-off payload from Datah Dawai to 496 kg. The actual take-off payload was
913.5 kg, exceeding the company’s standard by 417.5 kg, or by 84%
of the allowed payload weight.
b.
The PIC apparently has a wrong perception on take-off
procedures. He thought that the optimum take-off performance could
be achieved by taking-off with a higher velocity. Meanwhile, in achieving high
velocity one has to role closer to the obstacles, which forced the aircraft to
maintain a higher rate of climb.
c.
The passengers reported the PIC made a deal for
the sale of seat to the last two passengers. Therefore there was more
passengers load to the aircraft.
Pada kecelakaan diatas saya ingin memperlihatkan bagaimana violations dilakukan, yaitu dengan
sengaja menyalahi prosedur atas dasar motivasi pribadi.
Perlu diingat bahwa ini merupakan contoh hanya berdasarkan
laporan investigasi resmi dengan tujuan memberikan gambaran atas apa yang
dimaksud dari penjelasan konsep diatas tanpa ada tendensi untuk mendiskreditkan
pihak-pihak tertentu. Laporan resmi dari kasus yang diambil dibawah ini bisa
didownload dari website resmi KNKT.
Terlepas dari konsep HE yang saya uraikan diatas, saya
kembali menegaskan bahwa analisis kecelakaan tidak berhenti disini saja, karena
perlu dilakukan kajian kenapa HE ini terjadi. Misalnya ketika terjadinya rule-based mistakes ternyata perusahaan
tidak menyediakan manual untuk menghadapi suatu kondisi atau knowledge-based mistakes ternyata ada
kontribusi perusahaan dengan tidak adanya training.
Jadi ada faktor-faktor dibelakang HE ini, seperti adanya
kontribusi dari organisasi dalam suatu insiden atau kecelakaan karena banyak
studi yang membuktikan kontribusi organisasi dalam kecelakaan. Seperti yang
dilakukan oleh Dambier atas 239 kecelakaan di Jerman dari tahun 2004-2006 dan
menemukan 15% kontribusi organisasi atas kecelakaan, seperti insufficient maintenance dan missing aircraft parts.
Sementara itu di
India, Gaur menemukan kontribusi organisasi atas 48 kecelakaan penerbangan yang
terjadi dalam kurun waktu 1990-1999 adalah 52,1% dengan unsafe supervision mencapai 25%. Dan di salah satu jalur padat
penerbangan, Cina, studi yang dilakukan oleh Li, Harris serta Yu, menemukan
kontribusi organisasi adalah 17,3% atas 41 kecelakaan penerbangan yang terjadi
dari tahun 1996 hingga 2006.
Semoga bermanfaat…:-)
No comments:
Post a Comment