Monday, March 18, 2013

Menggali Kearifan Minang Kabau melalui Songket dan Basiba


Satu tahun terakhir ini saya belajar memahami kearifan budaya lokal, khususnya Sumatera Barat. Banyak sekali aspek-aspek menarik yang terkubur atau diinterpretasikan secara dangkal, baik itu aspek historis, religi, budaya hingga sosio-politik di Minang Kabau. Perkembangan zaman juga menjadikan rendahnya apresiasi dan keinginan generasi beberapa dekade belakangan ini untuk mempelajari kearifan budayanya sendiri.

Ketertarikan ini membawa saya berjumpa dengan banyak sekali teman-teman, kerabat serta orang-orang yang juga merupakan tempat saya belajar. Dan juga membawa saya menemui realita tergerusnya banyak pengetahuan yang diturunkan dari generasi lampau. Misalnya saja, di daerah Canduang, Agam yang berada dibawah kaki gunung Marapi. Daerah tersebut merupakan pusat budaya dan religi dahulunya. Saat ini, hanya dapat ditemui seorang tuo ukia (ahli ukir) dan seorang tuo pengkaji kitab kuning. Dan perbincangan saya dengan beliau membuat saya memahami belum adanya regenerasi, dan beberapa penyebabnya adalah faktor ekonomi dan perkembangan zaman. Sementara itu, berdasarkan beberapa dokumen yang saya baca dan diskusi dengan para pelaku budaya, saya mengetahui bahwa Canduang adalah tempat dibuatnya tenun songket pertama. Mirisnya, kondisi saat ini disana untuk tenun songket sedang mati suri karena ketiadaan regenerasi.

Beberapa peralatan menenun songket
Dan perjalanan juga membawa saya berjumpa dengan keluarga Alm. Alda Wimar yang giat melestarikan warisan budaya ini, keluarga ini membuat kembali tenun songket ini dan juga menggali nilai filosofis dari beragam motif yang saat ini saya yakin tidak banyak yang mengetahuinya. Dua motif yang direvitalisasi oleh anak dan menantu Alm. Alda Wimar (Nanda dan Iswandi) berhasil membawa mereka memperoleh penghargaan dari UNESCO. Kedua motif itu adalah Saluak Laka dan Saik Ajik Babungo.

Sebelum saya bercerita mengenai arti dibalik motif tenun songket diatas, saya akan berbagi pengalaman saya tentang kearifan dalam proses membuat selembar tenun songket. Proses tersebut baik proses teknis atau filosofis harus dimengerti dengan baik.

Proses teknis mulai merancang motif, menyiapkan benang, proses pewarnaan, menenun dan fnishing. Proses ini membuka mata saya mengenai arti kesabaran, ketekunan dan tentunya keikhlasan. Bagaimana tidak, semakin rumit motifnya, seorang penenun songket terkadang hanya bisa menyelesaikan 3-10 cm saja dalam 1 hari, sehingga menenun 1 lembar kain songket bisa mencapai waktu 2-4 bulan. Itu baru menenunnya saja, jika seluruh proses disatukan maka bisa mencapai 1,5 tahun.


Belum lagi nilai filosofis yang terkandung dari sebuah motif. Ada tiga arti dari sebuah motif, yaitu arti tasurek (tertulis), tasirek (tersirat) dan tasuruak (tersembunyi). Dalam menetapkan sebuah motif, didahului dengan kesepakatan bersama (konsensus), baru lahir sebuah motif yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ukiran rumah gadang (rumah adat Minang Kabau) atau tenun songket. Saat ini ada sekitar 2000 tenun songket yang sudah didokumentasikan oleh Nanda dan Iswandi, dan dari sekian banyak motif yang ditemukan baru 24 motif yang bisa tergali maknanya. Motif lama ini mempunyai tingkat kerumitan tinggi, sehingga dimasa sekarang sangat sulit ditemui penenun yang masih membuatnya.

Mari kita lihat motif Saluak Laka yang terdiri dari garis lurus serta garis lengkung. Secara tasurek motif ini menyiratkan dua hubungan di Minang Kabau, yaitu agama dengan garis lurus serta adat dengan garis lengkung. Hubungan ini yang sering disalahartikan, karena dianggap adanya pertentangan antara matrilineal (adat) dengan patrilineal (agama). Jika dilihat lebih dalam lagi, saluak laka merupakan jalinan lidi atau rotan yang dibuat untuk menyangga dan mengangkat periuk. Jaman dahulu, periuk dari tanah liat (balango) yang tidak memiliki 'telinga' diangkat dengan menggunakan saluak laka. Kekuatan jalinannya bukan saja tahan terhadap panas, namun mampu mengangkat beban yang besar dan berat.

Dari sini dapat kita lihat bahwa dengan kebersamaan maka hal seberat apapun bisa diselesaikan. Jalinannya yang rapi sehingga sulit untuk mengetahui mana yang ujung dan mana yang pangkal memperlihatkan bagaimana ego pribadi dilunturkan untuk kebersamaan. Tidak ada individu yang menonjolkan diri dan menepuk dada.

Dibeberapa daerah, seperti Canduang, jalinan ini juga memperlihatkan begitu menyatunya antara agama dan adat dalam kehidupan sehari-hari sehingga kehidupan masyarakat Minang Kabau tercermin dalam 'Adat basandi syara', syara' basandi kitabullah' yang menjadikan kehidupan beragama dan beradat tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

Disamping mempelajari beberapa motif dari kain songket, saya juga mendapat kesempatan melihat kembali bagaimana baju kurung orang Minang Kabau yang sebenarnya. Baju kurung ini disebut dengan nama, baju kurung Basiba. Yang saat ini ada bukan lagi asli dari Sumatera Barat namun sudah dipengaruhi oleh baju kurung Melayu Malaysia.

Seorang budayawan yang saya temui mengatakan bahwa baju kurung Basiba mempunyai arti tidak ada fokus, karena potongannya yang tidak menonjolkan lekuk badan perempuan. Dan dalam pemakaiannya bukan seperti masa sekarang, dimana kaum perempuan lebih suka menggunakan set songket dari bawahan hingga selendang sebagai pelengkap baju kurung. Dahulu kala, perempuan Minang Kabau menggunakan konsep padu padan. Jika menggunakan kain songket untuk bawahan, maka selendang bukan lagi kain songket. Jika songket sebagai selendang maka bawahan menggunakan kain batik (batik tanah liek alias batik tanah liat). Hal ini memperlihatkan keelokan dan kesederhanaan perempuan Minang sendiri.

Wah, banyak sekali hal yang menarik untuk diceritakan dan banyak juga hal yang harus saya pelajari. Banyak sekali nilai filosofi dari masa lalu yang perlu dipelajari kembali agar kita bangga sebagai bangsa besar dengan keragaman budaya. Agar kita mengetahui bahwa banyak nilai-nilai kearifan yang sudah kita tinggalkan.

Terharu dan bangga melihat sepasang anak muda yang mau menggali kembali kebudayaan lampau dari Minang Kabau melalui songket. Sedih ketika mendapatkan kenyataan bagaimana songket-songket Minang Kabau lebih banyak di simpan di museum-museum di luar negeri, seperti Italia, Belanda, Amerika dan Jepang. Dan yang paling menyedihkan adalah kearifan masa lalu dianggap sudah kuno bagi masyarakat modern, padahal jika dikaji lebih dalam maka akan kita sadari bagaimana tingginya peradaban masa lalu. Ya, budaya dan adab saling berkait, dan bangsa beradab adalah bangsa berbudaya yang mau mempelajari sejarahnya.

1 comment:

masnadek said...

Songket dan Basiba Minang Kabau memang selalu arif :D