Monday, October 14, 2013

Kembali ke tanah air

Artikel saya di Kompasiana yang ditulis pada 2 Agustus 2011
Sudah lama tidak menulis di Kompasiana, iseng sore ini sambil menunggu waktu berbuka saya membuka halaman Kompasiana saya. Alasannya sederhana karena beberapa hari belakangan ada tanggapan atas sebuah artikel saya yang berjudul 'Pulang atau Tidak ke Tanah Air: Dilema Mahasiswa Indonesia di Luar Negeri". Artikel itu ternyata beredar luas di media sosial saat ini dan cukup mengagetkan saya karena setelah 2 tahun lebih baru booming.

Artikel itu sendiri saya tulis pada tahun 2011 ditengah kegalauan untuk pulang atau tidak ke tanah air tercinta, Indonesia. Pengalaman pribadi, keluarga dan teman-teman menjadikan ada bersit kekhawatiran seperti saat saya pulang setelah menyelesaikan pendidikan S2 dahulu. Dalam bahasa lugasnya saya khawatir jika mental saya tidak kuat untuk menghadapi berbagai benturan dan yang pastinya saya takut jika saya berubah mengikuti arus didalam sistem yang selama ini selalu saya hindari karena tidak sesuai dengan prinsip saya.

Montreal, Canada
Titik balik semuanya adalah ketika saya memperoleh kesempatan bekerja di salah satu organisasi Internasional di Montreal, Kanada. Disanalah saya memutuskan untuk pulang. Bukan sebuah keputusan mudah, beberapa orang disekeliling saya justru menyangsikan keputusan itu dan entah kenapa disaat yang bersamaan ada saja peluang untuk tetap menetap di luar negeri. Walau tidak bisa langsung terwujud, alhamdulillah, akhir 2012 saya membulatkan tekad untuk tetap di Indonesia dan akan menghadapi apapun yang ada didepan saya.

Rumah Gadang
Padahal, pekerjaan didepan matapun belum tampak yang permanen, saya bekerja secara independen sebagai analyst/researcher. Namun saya selalu percaya, pasti ada jalan dari Yang Kuasa. Saya ikuti saja kemana passion membawa saya. Mulai dari mempelajari budaya Minangkabau hingga ikut Kelas Inspirasi Jakarta. Dan hanya dalam hitungan bulan semuanya bermuara di salah satu Research Center di sebuah kampus baru yang mengajak putra-putri bangsa yang diluar negeri untuk pulang dan mengabdi membangun Indonesia.

Alhamdulillah, ternyata keputusan saya tidak salah. Saya menemukan muara dari mimpi saya untuk bisa kembali dan berkarya di tanah air. Di artikel Kompasiana saya menyatakan bahwa, " .......jika kesempatan itu diberikan negara ini, saya yakin akan banyak sekali ilmuwan yang kembali pulang ke tanah air". Ditempat baru ini saya melihat kesempatan itu terbuka lebar, sehingga tidak heran sudah 200 orang lebih PhD yang memutuskan pulang ke tanah air karena kesempatan yang diberikan kampus yang didirikan oleh Prof. Yohannes Surya ini.

Merunut apa yang saya rasakan diatas, saya teringat buku Rantau|Muara yang ditulis oleh Ahmad Fuadi, yang juga bercerita tentang pergolakannya saat memutuskan kembali atau tidak ke tanah air. Dan saya yakin sekali hal yang sama juga terjadi pada banyak teman-teman diluar sana.

Perenungan akan misi dan visi hidup yang dihadapi oleh Alif, sang tokoh utama, terutama keputusan untuk kembali pulang ke tanah air merupakan gambaran dilema yang saya hadapi juga saat menyelesaikan kuliah seperti yang saya tuangkan di Kompasiana.  Sebelah hati sangat ingin kembali ke tanah air, tapi pengalaman berhadapan dengan kondisi tanah air yang tidak jelas menciutkan nyali Alif dan begitu halnya dengan saya.

Buku ini seolah mewakili apa yang bersileweran di diri saya, yang membuat saya semakin memahami diri sendiri, ketakutan-ketakutan, harapan-harapan dan tentunya, akhir dari semuanya saat harus kembali  ke akar, ke yang satu, ke yang awal.

Dan,...seperti yang saya tuliskan dibait akhir tulisan saya di kompasiana, "Pada akhirnya hidup adalah sebuah pilihan". Ya, saya memilih untuk pulang dan berkarya di tanah air. Dan kepada teman-teman Indonesia di luar negeri dimanapun muara tempat teman-teman berakhir, hendaknya tetap terus berkarya, bermanfaat bagi sesama dan terus berprestasi dengan membawa nama negeri tercinta, Indonesia.

Sebagai penutup, saya tuliskan syair Imam Syafii dari buku Rantau|Muara:

Biarkanlah hari terus berlari
Tetaplah jadi manusia mulia, apapun yang terjadi
Janganlah galau dengan tiap kejadian sehari-hari
Karena tak ada yang abadi, semua kan datang dan pergi
Jadilah pemberani melawan rasa takutmu sendiri
Karena lapang dan tulus adalah dirimu sejati
Janganlah pandang hina musuhmu
Karena jika ia menghinamu, itu ujian tersendiri bagimu
Takkan abadi segala suka serta lara
Takkan kekal segala sengsara serta sejahtera

Merantaulah. Gapailah setinggi-tingginya impianmu
Berpergianlah. Maka ada lima keutamaan untukmu
Melipur duka dan memulai penghidupan baru
Memperkaya budi, pergaulan yang terpuji, serta meluaskan ilmu

(Dikutip dari buku Rantau|Muara karya Ahmad Fuadi)

2 comments:

Yyu21 said...

Mantapp de'

masnadek said...

de'Mantapp