Wednesday, November 2, 2011

Indonesia vs Malaysia: Sebuah Catatan

Ditulis di Kompasiana, 10 September 2010

Tergerak hati menulis note ini karena hebohnya masalah Indonesia dan Malaysia. Tidak dapat dipungkiri, situs jejaring sosial menghadirkan para pengguna yang statusnya rata-rata berisi makian, mulai dari yang rada ‘elegan’ sampai yang kasarnya gak ketulungan. Jujur, saya sedih. Kenapa? Karena mudahnya kita terprovokasi. Sementara siapa yang bertepuk tangan? Tentu saja para provokator.

Beberapa waktu lalu, seorang teman mengirimkan link dari sebuah harian nasional tentang suara hati seorang pelajar Indonesia yang menimba ilmu di Malaysia. Sudut pandang yang selama ini luput dari perhatian kita, terutama media yang kelihatannya lebih senang menghadirkan isu-isu yang justru malah memancing dan memperkeruh suasana.

Saya coba melihat situs-situs baik dari Indonesia ataupun dari Malaysia. Dan,..isinya tak lebih dari makian-makian dan umpatan-umpatan. Kedua pihak saling serang. Begitu juga dengan di Youtube, komentar yang ada banyak yang berisi provokasi. Apakah tidak pernah terpikir, kalau misalnya yang memaki Indonesia itu adalah orang Indonesia sendiri, dan sebaliknya yang memaki Malaysia adalah orang Malaysia sendiri? Toh, disitus-situs itu cuma meminta kita membuat account, dan rata-rata tidak diverifikasi. Siapa saja tentu bisa membuat account, bahkan satu orang bisa memiliki banyak account.

Terlepas dari ‘perang’ didunia maya. Saya punya perspektif sendiri tentang masalah Indonesia-Malaysia. Yang pasti saya tidak akan bercerita mengenai sejarah permasalahan ini, karena saya juga bukan ahlinya. Saya mencoba memaparkan pandangan saya, bukan bermaksud menghakimi atau membela salah satu pihak. Tapi mencoba melihat suatu permasalahan dalam perspektif yang berbeda.

Saya pernah merasakan tinggal di Malaysia, selama beberapa bulan, untuk menuntut ilmu di salah satu universitas Australia di Malaysia Timur. Tinggal serumah dengan 4 orang flatmate yang semuanya adalah orang Malaysia dari suku yang berbeda: Melayu, Cina, Iban, dan campuran Cina-Jepang. Sementara di kampus, teman-teman saya berasal dari berbeda suku Malaysia, dan juga berbeda Negara. Tapi kita menjalani kehidupan dengan harmonis dan saling menghormati, tidak ada komentar SARA. Kenapa? Karena adanya terbangun rasa saling pengertian. Padahal pada saat itu, tidak sedikit permasalahan antara Indonesia dan Malaysia, namun apakah persoalan Negara menjadikan kita juga harus bermusuhan? Begitu juga dengan teman-teman Malaysia yang banyak menuntut ilmu di Indonesia, mereka juga diperlakukan dengan baik, saling menghormati.

Saat inipun saya bergaul dilingkungan internasional, dan tentu saja ada teman-teman dari Malaysia. Jujur saja, dari bergaul dengan mereka saya tahu permasalahan-permasalahan dalam negeri mereka. Dan, permasalahan mereka tidak jauh berbeda dengan kita. Ada juga masalah segregasi kebangsaan yang dilatari oleh banyak hal, seperti suku dan status sosial. Mereka juga mempunyai pembatasan dalam berpolitik, ada hal-hal yang tabu dibicarakan dalam ruang publik. Sama seperti masa sebelum reformasi di Negara kita. Dan tidak sedikit dari mereka juga tidak tahu apa permasalahan dan latar belakang sengketa Indonesia-Malaysia, karena terbatasnya informasi.

Saya masih ingat ketika masalah Reog Ponorogo yang diklaim sebagai kebudayaan Malaysia. Yang kemudian menyulut kembali amarah kedua belah pihak. Salah seorang teman Malaysia saya yang kemudian mencari informasi tentang reog, mengirim email dan menyatakan kalau dia merasa malu dengan klaim tersebut. Banyak kok ternyata orang Malaysia sendiri yang tidak berpihak pada sepak terjang Negara mereka, namun banyak hal yang membuat mereka tidak bisa berteriak seperti kita di Indonesia, dan tentu saja mereka juga akan berpikir panjang sebelum menyuarakan sesuatu yang bertentangan dengan kebijakan Negara.

Saya sedih melihat bagaimana kita menghakimi sesuatu. Jika ada orang Indonesia salah, maka ada orang-orang Malaysia yang kemudian menyamaratakan dan menghakimi bahwa semua orang Indonesia adalah sama. Tapi jangan salah, orang Indonesia juga banyak seperti itu. Kenapa? Karena kita sudah memelihara rasa benci itu, karena kita sudah menilai sesuatu sebelum mempelajarinya. Jadi, karena nilai minus sudah tertanam didalam hati dan pikiran, walaupun seseorang melakukan suatu kebaikan, hal itu tidak pernah tampak baik. Itulah yang terjadi dengan kedua negara ini.

Sekarang balik ke persoalan yang ada didepan mata. Kenapa kita heboh tidak karuan dengan memaki sana sini, apakah akan menyelesaikan persoalan? Bukannya malah akan memperuncing permusuhan? Disaat satu pihak mulai memaki, sudah tentu pihak yang dimaki tidak akan tinggal diam, dan lihatlah hasilnya seperti saat ini, kita saling memaki atas permasalahan yang justru tidak akan selesai juga oleh kita.

Sementara pihak-pihak yang memang tidak menginginkan munculnya kembali kekuatan Asia Tenggara (Indonesia, Singapura, Malaysia) semasa di jaman Soeharto, Lee Kuan Yew dan Mahathir akan bertepuk tangan karena provokasi mereka berhasil. Mereka tertawa gembira karena kedua bangsa bisa terpecah belah, dan siapa tahu suatu saat akan menjadi perang saudara seperti waktu Irak dan Iran bersiteru. Dan lihatlah, siapa yang mereguk keberuntungan? Tentu saja bukan salah satu dari Negara yg berseteru.
Bukankah seharusnya yang kita komentari adalah pemerintah di kedua Negara, Indonesia dan Malaysia? Bukan kah yang harusnya kita maki adalah para elite politik di kedua Negara? Toh, mereka-merekalah yang akan bertindak sebagai duta dalam menyelesaikan persoalan?

Kita tidak setuju dengan pidato presiden, komentari, kritik, maki, namun juga lakukan suatu langkah konkrit agar pemerintah mendengar suara kita. Dan hal yang sama juga dengan teman-teman di Malaysia, pelajari dulu masalah yang ada, jangan mudah terpancing. Ditengah kondisi ini, butuh hati dan pikiran yang jernih agar dapat melihat segala permasalahan yang ada secara komprehensif.

Jangan jadikan hari yang fitri ini yang harusnya dipenuhi dengan nuansa kasih sayang menjadi penuh dengan kebencian? Jangan biarkan amarah menguasai hati dan pikiran. Dan jadikan momen yang fitri ini sebagai saran untuk menyelesaikan segala sengketa, menyelesaikan segala persoalan, menyelesaikan segala permasalahan.
Entahlah,..apakah kita bisa? hanya anda sendirilah yang bisa menjawabnya.

No comments: