Sunday, November 4, 2012

"Maaf ya" ==> Do you really mean it?

Terlintas dikepala saya untuk menulis ini dipicu oleh tulisannya Samuel Mulia di harian Kompas Minggu, 4 November 2012. Seperti biasa tulisannya di kolom Parodi nyentil dan nyelekit. Tulisan berjudul 'Menunggu' ini bercerita tentang kata maaf.

I'm Sorry (take from Google)
Berbeda dari tulisannya si Om Samuel, saya menulis tema maaf dari sudut pandang lain (refers to judul tulisan ini ya,...)

Saya jadi ingat dalam pergaulan sehari-hari berapa banyak kata maaf yang kita dengar atau malahan kita sendiri yang mengucapkannya. Pertanyaannya: When you say sorry, do you really mean it?

Pernah ada teman yang bikin janji mau ketemuan. Kebiasaan saya adalah datang lebih awal dari yang dijadwalkan, karena saya lebih suka menunggu daripada ditunggu. Eh, beberapa saat sebelum jadwal yang ditentukan, SMS masuk yang bunyinya, "Gw kayanya ga bisa dateng masih nungguin nyokap nih. Sorry ya, ntar gw kontak elu deh kita schedule lagi". Jleb...!! Rasanya gondok banget, udah batalin janji, pake SMS pula.
Yang seperti ini bukan sekali dua kali saya alami. Dan kadang dengan orang yang sama. Dan tentu saja kembali kata-kata 'maaf' atau 'sorry' keluar. Jadinya saya berpikir, "Do you really mean it?". Kalo iya, kok kejadiannya berulang terus?

Bukan berarti tidak boleh membatalkan janji, namun tentu saja membatalkan itu dilihat urgensi sebabnya dan ketika perkiraan kita akan terlambat atau membatalkan janji alangkah baiknya diberi tahu jauh sebelum jadwal yang ditentukan. Kenapa? Karena mungkin saja orang yang berjanji dengan kita harus membatalkan pilihan-pilihannya yang lain karena sudah terlanjur berjanji dengan kita.

Kebayang kan bagaimana kalau seseorang berusaha melakukan sesuatu dengan mengorbankan banyak hal namun orang yang berjanji dengannya santai saja berkata, "Sorry ya. Gue sebenarnya ga ada maksud,..tapi yah gimana lagi,.... Maafin gue yah".......JLEB!!!

Mungkin banyak yang berpikir dengan permintaan maaf maka semuanya selesai dan tanpa ada beban. Namun banyak yang lupa untuk menempatkan dirinya diposisi orang yang dilukai akibat perlakuannya. Sehingga kata maaf hanya keluar begitu saja untuk melegakan perasaannya sendiri dan tidak disertai dengan sebuah penyesalan berbentuk perbaikan diri.

Dan terjadilah kesalahan yang sama pada orang yang sama atau orang lain. Maklum, menurutnya cukup dengan meminta maaf maka urusan selesai. Dan ini memperlihatkan bagaimana ego seseorang bekerja, yaitu meminta orang memaklumi kelemahannya namun tidak berusaha meningkatkan kualitas diri.

So, for me, when someone say sorry for the same mistakes that keep occurring, I doubt if he really meant it!

Lain lagi dengan orang yang sulit meminta maaf, padahal saya yakin mereka tahu kesalahannya. Padahal meminta maaf bukan berarti kita lemah namun justru menunjukkan kekuatan kita yang mampu menundukkan ego.

Minta maaf bukan masalah merendahkan diri, tapi adalah bentuk dari kerendahan hati. Minta maaf juga bukan bentuk pengakuan kesalahan saja, namun terlepas dari salah atau tidaknya seseorang, permintaan maaf juga bentuk kasih sayang.

Saya pernah me-retweet kata Merry Riana, "Minta maaf tidak selalu berarti kita salah. Itu berarti kita lebih menghargai cinta dan persahabatan diatas ego kita". Saya sangat setuju dengan tweet ini, coba bayangkan ketika dalam suatu hubungan tidak ada yang mau meminta maaf, bagaimana suatu hubungan akan berlanjut dengan baik dan penuh kasih sayang.

Misalnya ketika terjadi perdebatan antara orang tua dan anak, walaupun jelas si orang tua yang salah namun bukan berarti si anak harus menunggu orang tuanya minta maaf dahulu. Ketika si anak meminta maaf, justru menunjukkan bagaimana cintanya dan hormatnya kepada si orang tua. Begitupun ketika si orang tua menyadari kesalahannya, tanpa gengsi meminta maaf kepada anaknya. Disitulah diuji kemampuan menundukkan ego, kemampuan mengendalikan ke-aku-an.

Bisa dibayangkan bagaimana jika sifat tidak merasa salah atau tidak mau mengakui kesalahan ini dimiliki oleh orang-orang yang merupakan pimpinan atau public figure? Wajar saja ketika ada yang terbukti bersalah, dengan senyum lebarnya masih juga ngeles. Jangankan untuk bertobat dan memperbaiki diri, justru menuding orang lain melakukan fitnah. Jangankan untuk kontemplasi, justru sibuk mencari cara agar terlihat sebagai korban dan bukan tersangka.

Maaf bukan masalah menang atau kalah. Kata tersebut bukan monopoli pihak yang salah. Artinya lebih daripada itu, yaitu apakah suatu hubungan ingin dipertahankan atau tidak. Maaf adalah buah kontemplasi dengan tujuan perbaikan diri. Maaf itu melapangkan karena sudah pasti ada dua pihak yang terlibat ketika dibutuhkan permintaan maaf, adanya pihak yang menyakiti dan yang tersakiti.

Perasaan bersalah akan menuntun pada permintaan maaf disertai penyesalan dan perbaikan diri. Sedangkan yang terlanjur dilukai akan menjadikan lukanya sebagai pengingat untuk tidak akan melakukan kesalahan yang sama pada orang lain karena tidak ingin orang lain juga merasakan yang dirasakannya. Jadi selalu akan ada hikmah dari sebuah kata maaf yang disampaikan.

Namun, ketika kata maaf terlalu mudah diucapkan sementara kesalahan tetap dipertahankan maka kata maaf kehilangan maknanya. Dan tak lebih dari kata-kata klise belaka. So, when you say sorry, do you really mean it or just say it?

No comments: