Sebagian dari tulisan ini dipublish di Kompasiana tanggal 30 Oktober 2011
Setelah selama ini bercerita tentang negeri orang, saatnya saya bercerita tentang kampung saya, Sumatera Barat. Saya asli Bukittinggi, tepatnya dari Biaro, Ampek Angkek, sebuah daerah di kaki Gunung Marapi. Mengenai sejarah kota ini, saya pernah menulis di Kompasiana, silahkan membaca sejarah kota ini disana. Nah, ini adalah cerita tentang kebiasaan saya kalau pulang kampuang.
Kota Bukittinggi yang dikelilingi oleh Gunung Marapi dan Gunung Singgalang berhawa sejuk dan satu hal yang sangat saya sukai kalau pulang kampung adalah pada saat bangun pagi untuk sholat Subuh. Wah, dari mulut akan keluar asap mengepul, layaknya orang merokok. Dan udara yang dingin inilah selalu membuat ibu saya akan ribut membangunkan untuk sholat maklum udara terasa semakin dingin menjelang pagi dan selalu membuat saya kembali menarik selimut. Dan lucunya, walaupun saya sudah menetap dinegara-negara yang memiliki musim dingin, tetap saja saat di kampunglah saya merasa susaaaahhh sekali untuk bangun pagi.
Nah, biasanya setelah bangun pagi dan sholat Subuh, ibuk, yaitu kakak ibu saya akan membuatkan kopi karena dia tahu kesukaan saya minum kopi. Dan tentu saja bukan hanya kopi saja, tapi bersama dengan teman-temannya, yaitu goreng pisang dan ketan yang diberi kelapa. Berbeda dengan goreng pisang yang biasanya diiris tipis hingga menyerupai kipas, nah goreng pisang yang biasa saya makan di kampung tidak diiris, namun langsung digoreng begitu saja. Karena pisangnya sudah masak sempurna, rasanya benar-benar nikmat apalagi saat panas, dimakan bersama ketan dan secangkir kopi manis.
Sambil menunggu matahari muncul yang juga merupakan pertanda saya untuk segera mandi, biasanya saya dan ibu saya berjalan-jalan menikmati udara segar kaki Gunung Marapi. Dan tentu saja tidak lupa saya membawa kamera menyalurkan hobi bernarsis-narsis ria,...hehehehe..
Pukul 8 pagi, matahari sudah muncul biasanya kalau udara dingin sekali paginya, matahari akan bersinar cukup terik. Nah, pertanda saya sudah siap membersihkan badan. Maklum, saya tidak membiasakan diri untuk mandi dengan air panas kalau pulang kampung karena justru air dingin membuat badan terasa segar.
Acara rutin saya dikampung biasanya santai-santai menikmati keindahan kampung. Terkadang diikuti dengan berkeliling ke desa-desa lainnya di dekat Biaro, seperti Panampuang dan Koto Tuo. Kebetulan sanak keluarga dari ibu saya masih banyak disana. Dan jika ibu ada waktu beliau akan mengajak saya untuk bersilaturrahmi agar saya mengenal silsilah keluarga dekat dan jauh. Mungkin karena sudah terbiasa dari kecil dikenalkan oleh ibu, saya menyukai acara pulang kampung ini. Namun, seringnya sih otak saya agak 'error', dan akhirnya yang seharusnya menurut silsilah merupakan tante saya, eh malah dipanggil uni. Yah, sepertinya saya harus sering-sering pulang kampung agar tidak lupa dengan saudara dan keindahan alamnya....:-)
Dan setelah mengaso sejenak, sore hari adalah acara untuk menikmati sate Biaro. Sate ini sudah sangat terkenal baik bagi kami orang Bukittinggi, juga bagi para pendatang. Herannya, porsi besar sate Biaro sepertinya tetap tidak cukup diperut saya, sehingga setelah sholat Maghrib, sayapun meluncur ke kota Bukittinggi untuk menikmati makanan penutup kesukaan saya, yaitu Martabak Telor di daerah Kampung Cina (Kampuang Cino).
Dan acara hari itu akan ditutup dengan jalan-jalan narsis di Jam Gadang yang dilanjutkan dengan membeli kacang goreng yang berada di sudut pertokoan didepan Jam Gadang. Nah, penjual ini merupakan langganan kami sekeluarga, mulai dari saat sang Bapak masih hidup, hingga saat ini digantikan oleh istri beliau.
Sungguh hari yang melelahkan namun menyenangkan dan penuh dengan nostalgia. Memang pulang kampung adalah saat yang sangat saya tunggu-tunggu. Hmmmm...seenak-enaknya dinegeri orang, tidak ada yang seenak dinegeri sendiri.
1 comment:
Biaro? Saya juga orang Biaro. Biaronya di mana?
Post a Comment