Tuesday, November 1, 2011

Media dan kelatahan negeri


1307315768498167137
Media (from Google)
Ditulis di Kompasiana, 6 Juni 2011

Media tidak bisa dilepaskan dari kelatahan negeri ini. Sebagai penyedia informasi, media mempunyai kontribusi besar dalam menyajikan dan mendistribusikan informasi keseluruh penjuru negeri. Tentu saja informasi yang disajikan akan mempengaruhi persepsi dari si penerima informasi dan pada akhirnya membentuk opini publik. Dan apa yang terjadi dinegeri ini juga tidak terlepas dari peranan media. Jadi jika saya mengklaim adanya kelatahan dinegeri ini, itu tidak terlepas dari kelatahan media.

Mari kita coba lihat beberapa contoh kasus dinegeri ini. Pertama saya ambil kasus PSSI. Ketika kasus ini mencuat kepermukaan, media baik cetak atau elektronik berlomba-lomba membahas permasalahan ini. Narasumber didatangkan, penelusuran dilakukan bukan hanya di dalam negeri bahkan hingga ke luar negeri. Adu mulut debat kusir di media bukan lagi merupakan pemandangan aneh. Masyarakat yang mengeluarkan sumpah serapah juga sudah mulai terlihat lazim. Jejaring sosial mempertontonkan status-status dengan beragam ekspresi, dari yang sarkatis hingga caci maki. Hal inipun kurang lebih sama ketika kasus Nazaruddin, Nunun dan Hakim Syarifuddin muncul. Bahkan jika kita amati rumah Kompasiana, tidak terlepas dari berita-berita yang sama. Kelatahan terjadi dimana-mana.


Diluar ranah pemerintahan dan perpolitikan, kondisi yang sama juga ada didunia hiburan. Lihat saja dari program musik, ketika satu jaringan sukses dengan programnya, maka jaringan televisi lainnya juga mengadaptasi atau mengadopsi dan bahkan (menurut saya) mengkopi program yang sama. Dan lihat dengan program-program lainnya, khususnya sinetron. Tema yang diangkat pun kurang lebih sama, tokoh-tokoh dengan taburan materi lebih selalu ada. Tokoh-tokoh jahat dengan rencana busuk dan kata-kata kasar tidak pernah ketinggalan. Begitu juga ketika euphoria Briptu Norman terjadi, media baik cetak atau elektronik, berlomba-lomba menyajikan laporan terbaru dan terlengkap mengenai dirinya yang bahkan menyentuh ranah yang seharusnya bukan untuk dikonsumsi publik. Lagi-lagi, kelatahan melanda negeri ini.

Dan tentu saja alasan ada dibalik semua itu misalnya untuk memenuhi kebutuhan publik-lah, tren masyarakat memang seperti itu-lah, dan sebagainya. Tidak ada yang salah dari alasan-alasan tersebut, namun yang perlu menjadi perhatian dan pemikiran bersama adalah objektifitas, originalitas dan proporsionalitas dari suatu program. Jangan hanya karena sedang hangat-hangatnya lalu media hanya mengulas hal yang sama berulang-ulang bahkan seperti dipaksakan.

Saya yang suka jalan ke daerah melihat langsung dampak dari pemberitaan. Cerita di warung kopi pasti tidak akan jauh berkisar dari seputar berita-berita yang saya contohkan diatas. Memang tidaklah salah jika berdiskusi mengenai isu-isu yang ada, namun ketika sudah menganggangu efektifitas kerja tentu patut dijadikan renungan bersama. Tak sedikit yang menghabiskan waktu duduk, bercengkerama, menonton atau mendengarkan berita bersama karena tidak mau ketinggalan perkembangan yang ada. Akibatnya, waktu yang bisa digunakan untuk hal-hal produktif lainnya menjadi berkurang. Disamping itu, pemberitaan dengan menghadirkan narasumber yang tekadang berbicara diluar konteks profesionalitasnya sering kali menimbulkan polemik dimasyarakat. Batas-batas antara subjektifitas dan objektifas menjadi absurd. 

Jika kemudian ketika ada berita baru yang kemudian ditenggarai sebagai sarana untuk mengalihkan isu, saya rasa itu semua tidak terlepas pula dari kelatahan media. Bagaimana tidak, pemberitaan terus-menerus antara satu media ke media lainnya dengan isi yang kurang lebih sama, justru merupakan sarana dalam pengalihan isu. Akibatnya permasalahan sebelumnya menjadi tenggelam ditengah hiruk-pikuk berita terbaru. Ada hal lain yang menurut saya juga terlahir dari kontribusi kelatahan pemberitaan media, yaitu menjadikan masyarakat yang pesimis dan apatis. Lihat saja porsi pemberitaan yang dihadirkan dan di blow-up didominasi dengan kebobrokan dan keburukan bangsa. Tokoh-tokoh berdebat (tak jarang) menanggalkan etika. Dari bangun pagi hingga mata kembali terlelap dimalam hari, berita yang disajikan kurang lebih sama. Ketika mencari alternatif hiburan seperti infotainment atau sinetron, isu yang dihadirkan pun tidak berbeda jauh. Jejalan informasi yang seperti ini terus-menerus setiap hari berkontribusi dalam menjadikan masyarakat yang apatis dan pesimis karena hari-harinya diisi dengan informasi yang bersifat negatif (keburukan, kebobrokan, dan hal-hal yang bersifat materialistis).

Memang ada juga berita yang memberikan efek positif, seperti sebuah stasiun tv yang menghadirkan prestasi anak bangsa. Namun saya rasa masih sangat kurang jika dibandingkan dengan berita yang saya contohkan diatas. Berita elite dan selebiri memang masih mendapat porsi lebih. Sementara porsi masyarakat dengan segala permasalahannya dan yang secara nyata merasakan dampak langsung dari kondisi carut marut bangsa, kurang mendapat porsi dalam pemberitaan. Sudah saatnya media tidak latah dalam menayangkan dan menginformasikan berita hanya untuk mengejar rating dan oplah. Media berkontribusi dalam menciptakan tren dimasyarakat, bukan sebaliknya. Jadi, mari kita jadikan negeri ini lebih baik dengan menyajikan dan memberikan informasi yang proporsional.

No comments: