Tuesday, November 1, 2011

Ternyata demokrasi melahirkan generasi lebay dan alay

12956928551741038943
dari zedomax

Ditulis di Kompasiana, 22 Januari 2011

Ketika sepupu saya menuliskan statusnya di salah satu jejaring sosial tentang ‘curhat’nya pak SBY, saya tertarik dan mencoba melihat status-status terakhir teman-teman lainnya. Dan tebak bagaimana? Topik terbaru ‘curhat’ nya pak SBY dikomentari dengan beragam komentar. Dari yang sinis, ngebanyol, sampe yang memberikan ulasan panjang lebar layaknya seorang ahli. Hal ini bukan sekali dua kali saya perhatikan. Baru beberapa hari yang lalu heboh tentang berita masalah ‘kebohongan’ pemerintah, trus minggu lalu masalah Timnas U-23. Dan topik-topik ini semakin hangat dengan komentar yang beragam.

Kalau kita balik ke tahun 1998, tahun itu  merupakan momentum perubahan besar bagi bangsa Indonesia dengan mengusung istilah reformasi. Hal-hal yang dahulunya tabu untuk dibicarakan, sekarang bisa bebas dibicarakan dimana-mana. Saya masih ingat sewaktu masih SD ketika ada pelarangan lagu-lagu cengeng dengan alasan salah satunya untuk tidak melemahkan mental generasi muda, kalau kita lihat saat ini betapa banyak lagu-lagu bertema patah hati dan sebagainya, yang saya jujur saja tidak tahu batasan antara mana yang dikategorikan lagu cengeng dan mana yang tidak. Dahulu lagu-lagu kritik dari Iwan fals, El Pamas, Franky Sahilatua dilarang untuk beredar luas, namun sekarang lagu kritikan melenggang bebas seperti lagunya ‘Andai Aku jadi Gayus’ yang sedang hit ditanah air.


Nah, itu baru masalah lagu. Belum lagi masalah lainnya, seperti media. Tidak sedikit majalah dan koran yang dibredel karena ‘dianggap’ menganggu stabilitas negara, begitu juga dengan buku-buku, banyak buku yang dilarang beredar. Lain lagi dengan media elektronik, sebelum reformasi siaran televisi diawasi dengan ketat, tayangan televisi dibatasi. Lalu bagaimana dengan jaman sekarang? Media cetak dan elektronik bebas mau menyajikan dan menayangkan apa. Apalagi ditunjang dengan kemajuan teknologi saat ini, akses internet menjadikan berita bisa diakses dimana dan kapan saja.

Tapi beberapa tahun belakangan ini, saya mengalami fase yang namanya jenuh (walau lebih tepatnya bisa dikatakan muak). Kenapa? Ada tren yang saya perhatikan yang semakin hari semakin menjadi-jadi alias parah, yaitu tren melebih-lebihkan atau bahasa gaulnya lebay. Apa saja yang terjadi bisa menjadi topik hangat yang akan dibahas berhari-hari. Ketika gunung Merapi meletus dan Mbah Maridjan menjadi salah satu korbannya, coba tengok kembali berita mana yang lebih hangat untuk dibicarakan? Berita mana yang lebih seru untuk dikupas? Tentu saja berita tentang Mbah Maridjannya daripada bencana alamnya. Lihat saja status jejaring sosial, dibalik berita bela sungkawa tetap terselip cerita tentang beliau yang sudah tidak jelas lagi mana yang benar dan yang dibuat-buat.

Ketika berita video Ariel beredar, lihat saja topik dimana-mana, sudah tentu tentang Ariel. Trending di twitterpun tentang Ariel, status di facebook, lagi-lagi tentang Ariel. Begitu juga ketika Jupe dan Depe ribut, waduh, dimana-mana berita mereka. Itu baru masalah sosial, belum lagi kalau masalah politik. 

Wah,..wah..yang ini jangan dikata, ini bisa bakal jadi headline selama berhari-hari. Nah, hebatnya lagi pada saat membahas segala topik yang ada tersebut, semua bisa memberikan ulasan yang panjang lebar. Dari ibu-ibu rumah tangga, pedagang kaki lima, tukang parkir, orang kantoran, akademisi sampai ke pejabat-pejabat tinggi, semua sepertinya berusaha untuk tidak ketinggalan berita sehingga pada saat ada pembicaraan tentang itu, mereka bisa urun pendapat. Dan seperti hakekatnya manusia, yang mungkin saja punya rambut sama hitamnya, tapi pemikiran berbeda-beda, maka interpretasi atas sesuatu akan beragam juga. Dan mungkin saja interpretasi itu sudah bercampur dengan imajinasi, sehingga tidak jelas lagi mana batasan realita dan imajiner. Dan apa akibatnya? Sesuatu yang semula hanya biasa saja, bisa menjadi luar biasa karena sudah ditambahi bumbu disana-sini, dan sering juga tidak masuk akal, sehingga terkesan alay alias kampungan. Jadi muncullah generasi lebay dan alay dinegeri ini.

Disini saya mencoba menarik benang merah antara paska reformasi, yang disebut sebagai era demokrasi dengan kondisi yang ada saat ini. Demokrasi telah berhasil memberikan akses yang lebih luas kepada bangsa Indonesia, memberikan kebebasan yang lebih luas. Namun kebebasan ini semakin lama semakin menjadi-jadi dan sudah pada tahap kebablasan. Persoalan sederhana bisa menjadi luar biasa, karena seringkali sudah menjauh dari substansinya akibat budaya Lebay dan Alay tadi. Sungguh sayang, energi luar biasa yang dimiliki negeri ini seringkali tersedot untuk membahas satu hal yang memang disengaja dibuat berlarut-larut sehingga banyak persoalan lain yang terlupakan. Ups, jangan salahkan para pemimpin tapi tengok diri kita sendiri. Toh, kita adalah pemimpin bagi kita sendiri yang seharusnya mampu mengontrol diri agar tidak terjebak di arus ber-lebay dan ber-alay ria ini. Jadi alangkah baiknya era kebebasan ini dijadikan sarana untuk mencapai kemajuan, jangan sibuk berpolemik atau berdiskusi mengenai masalah yang juga tidak bakal selesai oleh kita. So, say no for lebay!

No comments: