Rumah kayu dengan parit kecil |
Khai Soi |
Lantai atas rumah panggung Seng |
Kamar mandi dan toilet sederhana |
Seng memanggil saya untuk turun, karena hujan tidak terlalu deras, dia meminta saya memilih rumah mana yang akan saya tempati. Dengan berbekal payung dan kamera saya menyusuri jalan setapak kecil dibelakang ruma utama. Disebelah kanan terdapat rumah-rumah dari kayu sedangkan disebelah kiri adalah rumah-rumah dari lumpur. Pohon pisang dan kelapa dibiarkan tumbuh secara alami, sementara itu selokan besar buatan didepan rumah-rumah dari lumpur dibuat melengkapi suasana alami.
Rumah dari lumpur |
Akhirnya saya memilih salah satu rumah, yaitu rumah dengan bentuk lingkaran. Ternyata ada dua ruangan didalamnya. Ruang tamu dan ruang tidur. Ukuran kedua ruangan lebih kurang sama yaitu berdiameter 2.5 meter. Antara ruang tamu dengan ruang tidur terdapat perbedaan elevasi sekitar 10 centimeter. Ruangan-ruangan ini memiliki ventilasi dekat lantai dan di dinding atas. Pertautan antara dinding rumah dengan atap dibuat dengan sistem perkayuan yang sederhana.
Setelah saya memutuskan rumah yang akan saya tinggali malam itu, saya memberitahu Seng yang kemudian mengajak saya menyiapkan perlengkapan tidur. Ternyata perlengkapan tidurnya bukan hanya alas berupa tikar, kasur, bantal dan selimut saja, tetapi termasuk dengan kelambu atau mosquito net.
Hasil kerja saya mempersiapkan tempat tidur |
Seng memberitahu saya bahwa setiap rumah memiliki listrik. Nah, dirumah yang akan saya tempati hanya ada satu lampu yang terdapat diruang tidur. Juga terdapat dua colokan listrik yang bisa digunakan untuk kipas angin atau mencharge baterai.
Setelah saya menyiapkan perlengkapan tidur, sayapun diajak Amphun untuk membeli susu kedelai di pasar tradisional yang jaraknya sekitar 15 km. Kami membeli susu kedelai segar yang dimasak langsung di dandang dan dicampur dengan barley serta cincau. Lima bungkus susu kedelai dengan 10 roti goreng menghabiskan uang 49 bath. Sungguh murah bukan?
Sambil menyeruput susu kedelai dan memakan gorengan hangat, saya, Amphun dan Seng asyik bercerita. Seng adalah seorang aktifis. Sejak tahun 1999 dia tergabung dengan sebuah NGO besar di Thailand yang bergerak untuk melindungi hak-hak perempuan di Birma karena tingginya kejahatan KDRT dan pemerkosaan disana. Namun pada tahun 2008 dia merasa lelah dengan tekanan politis yang dia peroleh sehingga memutuskan untuk bergerak sendiri dibidang humanitarian.
Dengan latar belakang pengobatan tradisional herbal dan kemampuan pijat refleksi, dia mengabdikan diri di kuil untuk memberikan pengobatan gratis. Dia juga membantu menyediakan makanan bagi para biksu dan orang-orang yang melakukan meditasi di kuil. Sementara itu, untuk menyambung hidupnya, dia bekerja sebagai freelancer penterjemah di beberapa organisasi dan media karena dia menguasai bahasa Inggris, Thai dan Birma.
Senjata yang wajib dibawa saat backpacking untuk menuliskan kisah perjalanan |
Tampak depan rumah lumpur yang saya tinggali |
Tak terasa cerita ngalor ngidul kami harus diakhiri karena besok setelah subuh kami akan berangkat ke kuil untuk menyediakan makanan. Saya pun dengan berbekal lampu senter kembali kerumah lumpur. Namun mata saya belum bisa terpejam walau jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Suara jengkrik ditingkahi burung malam terdengar bersahut-sahutan hingga akhirnya sayapun terlelap.
Tepat pukul 3 pagi, suara diatas kepala saya nyaring terdengar dan membangunkan saya. Yup,… seekor tokek nangkring dengan santainya diatas kuda-kuda atap yang posisinya tepat dibawah saya tidur. Aaahh…akhirnya tidur saya harus diakhiri karena si tokek asyik bernyanyi diatas sana. Tokek,……Tokek….Tokek…!!!
No comments:
Post a Comment