Thursday, November 24, 2011

Mud dan Wood House: Bermalam bersama tokek

1303027172610876621
Rumah kayu dengan parit kecil

Ditulis di Kompasiana, 17 April 2011

Chiang Mai adalah salah satu daerah tujuan wisata di Thailand. Namun saya tidak akan bercerita mengenai tourist spots di Chiang Mai, melainkan penelusuran saya di salah satu tempat di sub distrik San Sai. Tempat ini unik untuk saya ceritakan karena memiliki rumah-rumah yang terbuat dari lumpur dan kayu. Sementara itu areal disekelilingnya ditumbuhi oleh tanaman organik. Tempat ini dipelihara oleh keluarga Seng. Saat saya temui dia yang berasal dari Myanmark, mengelola areal ini bersama dengan kedua saudara lelakinya dan juga ibu mertuanya. Suaminya saat itu sedang berada di salah satu kuil untuk menjalani proses meditasi.


13030201951077804705
Khai Soi
Saya dan Amphun disambut oleh Seng dengan suguhan makanan di balai-balai yang terletak ditengah rumah panggungnya. Seng yang vegetarian tahu sebagai seorang muslim saya mempunyai pantangan terhadap beberapa makanan dan minuman. Hari itu menu utama serba ikan mulai Khoi Soi ikan, kangkung yang ditumis dengan ikan, selada pepaya dan buah-buahan. Mereka berdua memberitahu saya mana makanan yang pedas dan tidak, karena walaupun lidah Padang saya terbiasa dengan makanan pedas, ternyata masih tidak sanggup menghadapi rasa pedas dari makanan daerah utara Thailand ini.


1303020404969683621
Lantai atas rumah panggung Seng


Hujan yang turun siang itu membuat mata saya mengantuk, apalagi setelah diisi dengan makan siang. Seng mengatakan bahwa saya boleh naik keatas untuk melihat-lihat dan merebahkan diri sambil menunggu hujan reda. Dilantai atas rumah panggung itu, terdapat balai-balai dengan meja tempat sembahyang.

13030207531288003252
Kamar mandi dan toilet sederhana
 
Ada satu kamar disana dan toilet.Semuanya sangat sederhana, apalagi ditambah dengan pemandangan hijau sawah terbentang disisi kiri dan kanan. Dinding rumah terbuat dari anyaman bambu, dengan tiang-tiang dari kayu yang tidak diolah sama sekali sehingga kesan alami sangat terasa. Tentu saja sambil mengamati rumah indah dan sederhana ini saya tidak lupa jeprat-jepret untuk mengabadikan.

Seng memanggil saya untuk turun, karena hujan tidak terlalu deras, dia meminta saya memilih rumah mana yang akan saya tempati. Dengan berbekal payung dan kamera saya menyusuri jalan setapak kecil dibelakang ruma utama. Disebelah kanan terdapat rumah-rumah dari kayu sedangkan disebelah kiri adalah rumah-rumah dari lumpur. Pohon pisang dan kelapa dibiarkan tumbuh secara alami, sementara itu selokan besar buatan didepan rumah-rumah dari lumpur dibuat melengkapi suasana alami.

1303021196622849061
Rumah dari lumpur
Rumah-rumah kayu merupakan rumah panggung dengan besarnya sekitar 5×6 meter. Sementara rumah-rumah dari lumpur mempunyai ukuran dan bentuk beragam. Ada yang seperti rumah kebanyakan berukuran 4×4 meter, namun ada juga yang berbentuk bundar dengan diameter 2 sampai 2.5 meter. Rumah-rumah ini beratapkan rumbia yang dianyam sedemikian rupa. Pintu dan jendela dari anyaman bambu dengan kusen dari kayu.

Akhirnya saya memilih salah satu rumah, yaitu rumah dengan bentuk lingkaran. Ternyata ada dua ruangan didalamnya. Ruang tamu dan ruang tidur. Ukuran kedua ruangan lebih kurang sama yaitu berdiameter 2.5 meter. Antara ruang tamu dengan ruang tidur terdapat perbedaan elevasi sekitar 10 centimeter. Ruangan-ruangan ini memiliki ventilasi dekat lantai dan di dinding atas. Pertautan antara dinding rumah dengan atap dibuat dengan sistem perkayuan yang sederhana.

Setelah saya memutuskan rumah yang akan saya tinggali malam itu, saya memberitahu Seng yang kemudian mengajak saya menyiapkan perlengkapan tidur. Ternyata perlengkapan tidurnya bukan hanya alas berupa tikar, kasur, bantal dan selimut saja, tetapi termasuk dengan kelambu atau mosquito net.

13030214041183813627
Hasil kerja saya mempersiapkan tempat tidur

Kelambu itu ditempatkan terlebih dahulu sebelum meletakkan alas dan kasur. Wah, saya menjadi semakin tertarik. Sungguh suatu pengalaman yang seru apalagi dengan suasana sekitar yang masih alami. Seng kemudian juga mengajak saya melihat toilet yang tidak memiliki atap. Airnya sangat dingin dengan timba dan kloset jongkok. Lantai toilet dibuat dari pasangan kerikil dan bebatuan kali.

Seng memberitahu saya bahwa setiap rumah memiliki listrik. Nah, dirumah yang akan saya tempati hanya ada satu lampu yang terdapat diruang tidur. Juga terdapat dua colokan listrik yang bisa digunakan untuk kipas angin atau mencharge baterai.

Setelah saya menyiapkan perlengkapan tidur, sayapun diajak Amphun untuk membeli susu kedelai di pasar tradisional yang jaraknya sekitar 15 km. Kami membeli susu kedelai segar yang dimasak langsung di dandang dan dicampur dengan barley serta cincau. Lima bungkus susu kedelai dengan 10 roti goreng menghabiskan uang 49 bath. Sungguh murah bukan?

Sambil menyeruput susu kedelai dan memakan gorengan hangat, saya, Amphun dan Seng asyik bercerita. Seng adalah seorang aktifis. Sejak tahun 1999 dia tergabung dengan sebuah NGO besar di Thailand yang bergerak untuk melindungi hak-hak perempuan di Birma karena tingginya kejahatan KDRT dan pemerkosaan disana. Namun pada tahun 2008 dia merasa lelah dengan tekanan politis yang dia peroleh sehingga memutuskan untuk bergerak sendiri dibidang humanitarian.

Dengan latar belakang pengobatan tradisional herbal dan kemampuan pijat refleksi, dia mengabdikan diri di kuil untuk memberikan pengobatan gratis. Dia juga membantu menyediakan makanan bagi para biksu dan orang-orang yang melakukan meditasi di kuil. Sementara itu, untuk menyambung hidupnya, dia bekerja sebagai freelancer penterjemah di beberapa organisasi dan media karena dia menguasai bahasa Inggris, Thai dan Birma.

13030215991653539150
Senjata yang wajib dibawa saat backpacking untuk menuliskan kisah perjalanan

Disamping itu dia juga giat membantu suku Chan, salah satu suku di Myanmar, yang merupakan suku asalnya untuk meningkatkan kehidupan ekonominya. Dia memperkenalkan sistem mikro finance disana. Sistem yang digunakan mirip dengan sistem Grameen Bank-nya Muhammad Yunus, namun asal uang adalah dari masing-masing anggota. Setiap anggota menyisihkan sedikit uang untuk dikelola bersama dan menjadi modal bersama. Uang ini kemudian bisa digunakan salah seorang anggota untuk keperluannya dan pengembaliannya dengan jalan mencicil. Masing-masing anggota merupakan penjamin bagi anggota lainnya.

13030221401097000782
Tampak depan rumah lumpur yang saya tinggali

Sistem ini terbukti sukses karena dalam waktu 3 tahun mereka bisa mengembangkan menjadi 120 grup. Satu hal yang patut diacungi jempol adalah kemampuan mereka meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri dari para anggota bahwa mereka bisa mempunyai simpanan tanpa meminjam kepada oranglain.

Tak terasa cerita ngalor ngidul kami harus diakhiri karena besok setelah subuh kami akan berangkat ke kuil untuk menyediakan makanan. Saya pun dengan berbekal lampu senter kembali kerumah lumpur. Namun mata saya belum bisa terpejam walau jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Suara jengkrik ditingkahi burung malam terdengar bersahut-sahutan hingga akhirnya sayapun terlelap.

Tepat pukul 3 pagi, suara diatas kepala saya nyaring terdengar dan membangunkan saya. Yup,… seekor tokek nangkring dengan santainya diatas kuda-kuda atap yang posisinya tepat dibawah saya tidur. Aaahh…akhirnya tidur saya harus diakhiri karena si tokek asyik bernyanyi diatas sana. Tokek,……Tokek….Tokek…!!!

No comments: