Thursday, November 3, 2011

Pulang atau tidak ke tanah air: Dilema mahasiswa Indonesia

Ditulis di Kompasiana, 02 Agustus 2011

Siang kemarin seorang teman mengirimkan link berita dari Yahoo tentang pernyataan Prof. B. J. Habibie di Aachen, Jerman agar para ilmuwan di Indonesia tidak usah pulang (dulu) ke Indonesia. Judul tendesius dari Yahoo ini (Habibie: Ilmuwan Nggak Usah Pulang ke Indonesia) juga di publish dibeberapa wall teman-teman saya di Facebook. Dan tentu saja menuai pro dan kontra, seperti halnya pro-kontra di halaman berita Yahoo tersebut.

Wajah ceria mahasiswa Indonesia di Canterbury



Saya tidak akan mengkaji pros dan cons dari pernyataan ini. Namun saya ingin berbagi pengalaman saya dan beberapa orang teman. Bukan untuk menjustifikasi keputusan pulang atau tidak ke Indonesia, namun untuk berbagi perspektif kami para mahasiswa yang memutuskan untuk pulang dan tidak ke Indonesia setelah menyelesaikan studi.

Pulang ke tanah air setelah menetap beberapa tahun di negeri orang, tentu saja bukan hal yang mudah. Apalagi jika sempat menetap di sebuah negara yang lebih maju dari negara sendiri, baik dari segi ekonomi, teknologi, socio-kultur, dan sebagainya. Disamping itu, bayangan akan terbatasnya lapangan pekerjaan juga menjadi alasan lain dan belum lagi kekhawatiran akan benturan idealisme selama ini dengan kondisi yang akan ditemui di Indonesia. Dengan berbagai macam hal didalam kepala, satu hal yang saya yakin sebagian besar mahasiswa Indonesia rasakan tentulah rasa rindu untuk kembali ke tanah air.


Namun tentu saja kecintaan dan rasa rindu saja menurut saya pribadi tidak cukup. Beberapa orang teman dan saya sendiri sudah merasakannya. Begitu menyelesaikan studi S2, pulang ke Indonesia dengan hasrat mengembangkan ilmu yang didapatkan dan bahkan tidak sedikit yang menolak tawaran pekerjaan atau melanjutkan studi. Namun setelah beberapa lama di tanah air, beberapa orang dari kami memutuskan kembali ke luar negeri untuk melanjutkan studi.

Beragam alasan, ada teman saya yang tidak mendapatkan apresiasi sesuai dengan bidang keahliannya. Ada yang tidak mendapat pekerjaan karena bidangnya belum berkembang di Indonesia. Namun ada pula yang kecewa dengan kondisi negara saat itu dan itu merupakan salah satu alasan saya juga. Praktek suap dan korupsi yang ada dilingkungan saya merupakan alasan kuat untuk keluar setelah 1.5 tahun kembali ke tanah air. Sistem birokrasi yang tumpang tindih, penuh dengan liku-liku dan acap diisi oleh orang-orang yang kurang integritas dan bekerja hanya sebagai sebuah kewajiban, membuat proses banyak hal harus disertai dengan iming-iming tertentu (seperti uang) sebagai akselerator. Jujur saja mental saya tidak kuat menghadapi hal tersebut, dan belum lagi tuntutan sosial yang memandang seorang lulusan luar negeri haruslah begini dan begitu dimana ekspektasi ini kebanyakan lebih bersifat materialistis.

Sebagian besar teman yang pada saat itu memutuskan pulang ke Indonesia yang bukan karena tuntutan instansi atau institusi tempat mereka bekerja, kembali keluar negeri. Ada yang memutuskan melanjutkan kuliah dan ada pula yang bekerja. Dan jangan salah, bukan perkara gampang untuk kembali ke luar negeri, apalagi jika sudah beberapa waktu lulus dari bangku kuliah. Khusus untuk kembali ke bangku kuliah, juga dimulai dari mencari universitas, membicarakan topik riset sampai mencari beasiswa.

Dan saat menyelesaikan perkuliahan saat ini pun saya dan teman-teman, tetap berhadapan dengan dilema yang sama. Kembali atau tidak ke tanah air. Sudah sering saya mendengar orang menuding bahwa para mahasiswa yang memutuskan tinggal diluar negeri setelah menyelesaikan studi adalah orang-orang yang tidak nasionalis. Sungguh sedih saya dengan tudingan-tudingan seperti itu. Padahal banyak sekali dari kami yang berada di luar negeri dengan melakukan studi tentang Indonesia.

Saya ambil contoh mahasiswa-mahasiswi Indonesia program riset di Christchurch yang hampir 100% melakukan studi tentang Indonesia. Mulai dari studi tentang hotel berbintang di Indonesia, studi komparasi politik Indonesia, pertambangan, penerbangan, kehutanan, lingkungan hidup bahkan hingga breast feeding. Tentu saja salah satu alasan kami melakukan penelitian tentang Indonesia adalah kecintaan akan negeri sendiri. Keinginan untuk melihat negara kita berkembang dan maju dengan mengkaji berbagai aspek yang ada.

Lalu jika kemudian ada yang mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan penelitiannya atau mengembangkan potensinya, apakah harus ditolak? Sementara itu banyak dari hasil studi para mahasiswa ini kurang terdengar gaungnya di negeri sendiri. Hal ini juga menjadi perhatian khusus kami dimana hasil penelitian kami lebih diapresiasi oleh bangsa asing daripada pemerintah sendiri. Dengan kondisi ini, pilihan menetap diluar negeri merupakan suatu keputusan dimana potensi kami bisa berkembang dan berkontribusi dibidang keilmuan.

Janganlah diukur rasa nasionalisme dari pulang atau tidaknya seorang mahasiswa ke tanah air. Tapi lihatlah dari apa yang mereka kerjakan dan hasilkan dengan tetap membawa bendera Indonesia. Banyak sekali ilmuwan Indonesia yang mendapat tempat diberbagai belahan dunia dan diakui eksistensinya didunia internasional. Bukankah itu mengharumkan nama bangsa juga. Dan tentu saja, jika kesempatan itu diberikan oleh negara ini, saya yakin akan banyak sekali ilmuwan yang kembali pulang ke tanah air.

Apapun itu, pada akhirnya hidup adalah sebuah pilihan. Ketika ada mahasiswa yang memilih untuk tidak pulang, tentu dia mempunyai alasan yang kuat sehingga dia memutuskan jauh dari tanah air tercinta. Jangan hakimi dengan alasan nasionalisme ssemata, tapi marilah tengok realita yang ada dinegeri kita.

No comments: