Thursday, November 3, 2011

Sebuah kisah tentang sekolah kehidupan

Ditulis di Kompasiana, 15 Juli 2011

Sebut saja namanya Erin, seorang gadis sederhana dari Bukittinggi. Saya sudah cukup lama mengenalnya yaitu saat bergabung dengan International Pen Friends (IPF), sebuah group pertemanan pada waktu saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dan sampai saat ini dia adalah salah satu inspirasi kegigihan dalam menggapai mimpi.

13107151281311323503
The Universe (from Google)


Terlahir dari keluarga sederhana dengan kedua orang tua bekerja sebagai pegawai negeri sipil, tidak membuat Erin besar kepala, apalagi kedua orangtuanya mempunyai jabatan yang lumayan dikantor bupati. Namun, kedua orangtuanya sudah menanamkan kejujuran dan kerja keras dalam dirinya sejak kecil, apalagi dia masih mempunyai 2 orang adik. Layaknya anak seorang pegawai negeri, dia tidak bisa sembarangan meminta apapun yang dia inginkan karena harus menunggu bulan baru dan juga urutan dalam skala prioritas. Keterbatasan ini menjadikan dia seorang anak yang kreatif dan ini tentu saja karena bimbingan serta arahan kedua orangtuanya.
Saya masih ingat ketika dia bercerita bagaimana kedua orangtuanya menanamkan kedisiplinan dengan memberikan sepetak lahan dibelakang rumahnya. Lahan itu berukuran 4×4m. Kemudian dia dan kedua adiknya diminta berembuk menentukan tanaman apa yang akan ditanam disana. Setelah berembuk, maka mereka memutuskan untuk menanam tanaman semangka dengan pertimbangan bisa dipanen dengan cepat dan menjualnya tidak begitu sulit. Ayah ibunya kemudian membelikan benih semangka, serta buku petunjuk bagaimana merawatnya dan membiarkan ketiga kakak adik ini berbagi tugas.


Erin selaku koordinator berembuk tentang pembagian tugas, yang bersekolah dipagi hari akan merawat kebun disore hari, begitu sebaliknya jika bersekolah disiang hari maka kewajibannya ditunaikan dipagi hari. 

Tanggung jawab atas sebidang tanah yang ditumbuhi tanaman semangka ini, menurut Erin, bukan saja mengajarkan kedisiplinan namun juga kesabaran, ketelatenan dan juga manajemen waktu. Dan ketika dia dan adik-adiknya sukses merawat tanaman ini hingga berbuah, mereka juga berhasil menambah pundi-pundi tabungan mereka tanpa harus meminta pada orang tua. Yang pasti, menghasilkan uang dari kerja sendiri menjadikan mereka belajar arti uang yang mereka peroleh sehingga mengajar mereka bijak dalam menggunakannya.

Pernah suatu kali dia bercerita kenapa kedua orangtuanya memasukkannya ke SMP yang bukan merupakan SMP favorit dan berlokasi dipinggiran kota atau kalau kata siswa sekolah lain sebagai ‘sekolah anak kampung’. Ternyata orang tuanya mau mengajarkan bagaimana bergaul dengan segala lapisan masyarakat, belajar menghargai dan mensyukuri yang dia punyai dengan melihat kondisi teman-teman disekolahnya.

Karena otaknya termasuk encer, teman-teman kedua orangtuanya sering bertanya kenapa dia dimasukkan ke sekolah tersebut. Dan jawaban orangtuanya sangatlah sederhana, “Agar Erin belajar ilmu kehidupan. Dan dia juga mengerti bahwa dimanapun dia berada, dia bisa bersinar asalkan dia punya niat, mau bekerja keras, pantang menyerah dan tentunya bersabar dengan bertawakkal”.

Dan kenyataannya, saat masih duduk di SMP tersebut, Erin sering sekali mengharumkan nama sekolahnya dengan menjadi juara diberbagai ajang di kotanya dan hingga di propinsi. Bahkan dia juga pernah memperoleh penghargaan nasional dibidang jurnalistik. Dan dia membuktikan bahwa walaupun dia bersekolah bukan disekolah favorit, dia tetap berprestasi. Dan dengan wajah yang selalu tersenyum mengingat masa SMP-nya, Erin bercerita bagaimana teman-temannya telah mengajarkan banyak hal. Dia jadi tahu bagaimana cara menangkap belut disawah, dia diajarkan teman-temannya bagaimana mengambil buah ambacang yang jika terkena getahnya bisa gatal-gatal dan dia juga bercerita bagaimana dia belajar menarik orang-orangan sawah dengan mengikatkan tali ke kaki. Pelajaran-pelajaran yang mungkin tidak dia dapatkan jika bersekolah di sekolah favorit yang dia dan teman-temannya sebut sebagai ‘sekolah orang kota’.

Erin kemudian melanjutkan ke SMA favorit dikotanya, dan seperti biasanya berbagai aktifitas dia ikuti dan berbagai prestasi dia ukir. Namun, dia tetap sederhana dan bersahaja sehingga banyak orang yang menyukainya. Impiannya adalah bersekolah keluar negeri dan itu pula yang menjadi alasannya untuk bergabung dengan IPF. Memang di IPF kami mempunyai banyak teman dari mancanegara. Pada jaman pertengahan 90-an, belum ada internet seperti sekarang ini, sehingga pak pos adalah orang yang paling ditunggu.

Ketika dia melanjutkan kuliah di sebuah universitas swasta, saya tahu itu bukan karena dia tidak diterima di perguruan tinggi negeri. Tapi karena programnya memberikan kesempatan untuk melakukan pertukaran mahasiswa keluar negeri. Dan tentu saja biaya kuliah yang sedikit lebih mahal membuatnya sudah bekerja mencari tambahan sendiri disamping memperoleh beasiswa dari kampus. Seperti yang diduga, dia berhasil memperoleh kesempatan untuk pertukaran mahasiswa selama 3 bulan ke Jerman dan 9 bulan ke Jepang. Luar biasanya, dia tetap bisa menyelesaikan perkuliahan dalam 5 tahun, padahal jurusannya adalah teknik sipil.
Sebagai salah seorang mahasiswa beprestasi, saat wisuda dia didaulat untuk memberikan sedikit sambutan. Dia bercerita tentang apa yang digapainya, “Alhamdulillah, Tuhan sangat baik pada saya. Semuanya tidak terjadi secara kebetulan karena apapun yang saya peroleh saat ini telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Dan ketika kesempatan itu datang, saya tinggal mengambilnya”.

Erin kemudian berusaha melanjutkan pendidikannya ke luar negeri, tak terhitung berapa puluh lamaran baik untuk beasiswa lokal atau internasional yang dia layangkan. Walaupun tidak banyak yang terang-terangan mencemoohnya, tapi banyak yang sangsi dengan impiannya.

Tapi, dia tetap optimis, “Ah, the universe conspires to help others but it is only matter of time until it conspires in my favor”. Optimisme yang dia perlihatkan selalu membangkitkan semangat orang-orang yang mengenalnya. Dan dia membuktikan bahwa dia bisa meraih beasiswa keluar negeri untuk program master dan doctoral. Saat inipun dia sudah menjadi seorang researcher di sebuah pusat studi di Kanada.

Dia selalu mengatakan apa yang dia raih saat ini bukan terjadi begitu saja. Yang ditanamkan oleh orang tuanya adalah bekal dalam mencapai impiannya. Kesuksesan-kesuksesan yang diraihnya tidak membuat dia lupa untuk terus belajar, karena dia tahu bagaimana sulitnya kehidupan.

Yah, itulah Erin. Seorang pekerja keras, yang selalu belajar setiap waktu. Dan yang pasti dia seorang yang sederhana dan bersahaja. Sejak dia menyelesaikan kuliah sarjananya, saya memang tidak pernah bertemu lagi karena dia sudah berada dibelahan dunia lain. Namun, persahabatan kami tetap dilanjutkan seperti halnya saat di IPF, hanya bedanya saat ini kami tidak menggunakan surat lagi. Tapi kadang kerinduan berkirim surat masih ada, sehingga iseng mengirimkan surat ataupun kartu pos. Ya Erin, seperti yang pernah kamu katakan semua hanya masalah waktu dan sambil menunggu lebih baik tetap berusaha dan tetap belajar guna persiapkan diri sebaik mungkin hingga saatnya tiba dan “the universe conspires in our favor“.

No comments: