Thursday, November 3, 2011

........'karena Om cinta Indonesia'

Ditulis di Kompasiana, 09 Agustus 2011

Saya mengenal Om Andi saat saya masih menetap di Swedia, negara yang sudah ditinggalinya sejak akhir 1960an. Jika berbicara dengannya, kosa kata bahasa Indonesianya masih bagus dan masih terdengar logat Manadonya, namun jika didengar baik-baik maka kita tahu bahwa dia menggunakan kosa kata yang sudah lama. Misalnya ketika mengatakan bahwa beliau ingin memperpanjang rebewes, tentu saja kosa kata itu tidak saya temu dijaman saya, yang ternyata mempunyai arti SIM (Surat Izin Mengemudi). Jadi jangan coba-coba menggunakan bahasa gaul dengannya, dijamin dia akan terbengong-bengong.

Sejak perkenalan itu saya menjadi akrab dengannya, layaknya seperti ayah saya sendiri. Apalagi kedua orangtua saya juga sudah berkenalan dengannya. Sehingga ketika ia memutuskan perjalanan bersepeda melintas Pulau Sumatera dan Pulau Jawa, kontan kami semua kaget dan sangsi, maklum Om Andi sudah tidak muda (68 tahun saat itu) lagi. Serta jalur yang akan ditempuhnya bukanlah rute sederhana. Apalagi ditunjang dengan terbatasnya jalur bersepeda disepanjang jalan yang akan ditempuhnya dan bahkan jalur lintas Sumatera yang akan ditempuh merupakan jalurnya bus-bus lintas kota dan provinsi. Tapi, memang Om Andi bersikeras untuk menjalankan misinya.




Pada tanggal 29 Mei 2008, sampailah ia di Kuala Lumpur, Malaysia, kota tempat dia akan memulai perjalanan bersepedanya. Perlengkapan sepeda yang di packing, dia rakit disana. Perlengkapan yang dibawa sangat ringkas. Satu backpack ukuran 30L, 2 pasang tas samping sepeda yang ditaruh dibagian depan dan belakang sepeda, serta sleeping bag. 4 botol minuman terselip di berbagai tempat di sepeda itu. Seluruh perlengkapan itu dia tambah dengan night ride light dan beragam aksesori lain yang berguna bagi perjalanannya.

16 Juni 2008, ia pun memasuki kota Bukittinggi setelah melintasi provinsi Riau. Saya yang sedang liburan, menjadi guidenya selama 3 hari di Sumatera Barat. Saat jumpa kembali setelah 1.5 tahun, tiada perubahan berarti yang tampak. Om Andi masih terlihat segar dan penuh semangat. Mungkin karena pola makan dan olahraga yang terjaga membuatnya terlihat prima. Dengan senyum lebar dan sapaan khasnya, mereka menyapa saya dan ibu yang menjemput. Tiada gurat kelelahan diwajahnya padahal sampai di BUkittinggi pada pukul 6 pagi, alias 4 jam sebelum kedatangan saya.

Tak sabar pertanyaan yang selama ini bersileweran dikepala sayapun terlontar. Saya penasaran kenapa dia ‘nekad’ melintas sebagian Indonesia dengan sepeda? Dan jawabannya sangatlah sederhana, “karena Om cinta Indonesia”. Jawaban singkat itu keluar dari bibir yang bergetar dan mata yang berkaca-kaca. Kontan hati saya terenyuh, karena saya tahu pasti latar belakang hal tersebut.

Ya, saat ini Om Andi memang berstatus bukan warga negara Indonesia lagi. Ia kehilangan kewarganegaraannya pada masa kejatuhan orde lama pada tahun 1965 setelah G 30 S PKI. Sempat kehilangan kontak dengan tanah air selama beberapa waktu seperti halnya dia kehilangan pengakuan atas identitasnya di Republik ini sehingga akhirnya dia memperoleh kewarganegaraan Swedia. Tapi walaupun sudah 30 tahunan berada di negera itu, kecintaannya akan tanah air tidaklah hilang.

Perjalanan bersepedanya ini adalah untuk menikmati kembali wajah asli tanah air, negeri yang sangat dicintainya. Om Andi menyatakan kerinduannya akan suasana pedesaan, keinginannya menikmati alam hijau membentang, keramah-tamahan masyarakatnya serta ikatan persaudaraan yang terjalin. Suasana yang sudah lama hilang dari kesehariannya di negeri seberang. Suasana yang sanggup membuatnya menitikkan air mata kerinduan. Rindu inilah yang mendorongnya untuk melintasi Pulau Sumatera dan Jawa dengan sepeda. Rindu yang sanggup menghapus kekhawatiran dan ketakutan akan berbahayanya perjalanannya. Rindu yang sanggup membuatnya tetap bersemangat untuk tetap mengayuh sepeda.

Selama di Sumatera Barat, saya mengajak Om Andi berkeliling (tentu saja tidak dengan sepeda) untuk memenuhi kerinduannya. Setiap sampai disuatu pemberhentian dia akan segera turun dari mobil dan berdiri tegak menikmati suasana sebelum kemudian menghela napas panjang. Beberapa kali saya saksikan dia menghapus sudut matanya yang berair. Ya, saya dapat merasakan kecintaannya akan Indonesia

Hampir disetiap sudut dia akan mengabadikannya dengan kamera kecilnya yang katanya akan dijadikannya sebagai screen saver komputernya. Sedikit banyak bisa menghapus rindu, begitu yang selalu ia katakanya berulang kali.

Setelah 3 hari di Sumatera Barat, dia pun melanjutkan perjalanan melintas Sumatera, menuju Pulau Jawa. Dan akhirnya pada tanggal 1 Juli 2008, Om Andi sampai di kampung halamannya, Manado. Dengan riang dia menelpon saya dan bercerita bagaimana dia berhasil sampai di tujuan. Namun, yang paling membahagiakannya adalah dia bisa memenuhi kerinduannya akan suasana negara ini.

Kisah hidup Om Andi memang menjadi inspirasi saya. Walaupun pernah ‘terbuang’ dari negeri ini, namun cintanya tidak pernah pupus. Walau secara formal dia bukanlah warga negara Indonesia lagi, namun hati dan jiwanya tetaplah milik bumi pertiwi ini. Om Andi, semoga cita-citamu yang sederhana untuk bisa menikmati masa tua di Indonesia tanpa harus terbebani oleh segala macam tetek bengek urusan keimigrasian bisa terwujud. Terima kasih sudah menjadi inspirasi kami generasi muda.

No comments: