Friday, July 1, 2016

Empati

Obrolan dengan kerabat dan sahabat menunggu berbuka beberapa waktu terakhir mengingatkan saya akan sebuah tugas yang saya berikan di salah satu kelas yang saya ampu.

Mahasiswa saya minta bertim dua orang untuk berjualan di pasar tradisional. Mereka harus memilih salah satu produk yang akan dijual: sayuran, buah-buahan, atau mainan anak.

Syaratnya adalah dilaksanakan selama dua hari berturut-turut, jika satu hari terlewat maka mereka harus mengulang kembali dari awal, dan modalnya tidak lebih dari Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah).

Respon atas tugas ini beragam dan memunculkan beragam pertanyaan yang saya tidak sangka-sangka. Salah satunya adalah menentukan mana yang termasuk pasar tradisional.....hehehe ternyata ada yang belum pernah ke pasar tradisional. Tentunya, pertanyaan seperti ini biasanya tidak saya jawab.

Berjualan di pasar (foto dok. pribadi mahasiswa)
Banyak cerita menarik yang muncul, ada yang sempat ketakutan karena ada petugas kamtib dan Satpol PP. Ada yang kehilangan uang yang merupakan hasil penjualan karena kantong plastik penyimpan uang robek. Ada yang dagangannya ditawar habis-habisan lalu si calon pembeli tidak jadi membeli. Namun ada juga yang dagangannya diborong satu pembeli karena teringat anaknya seusia mereka yang sedang merantau untuk bersekolah. Dan ada juga yang ditawari pekerjaan karena kasihan melihat mereka mesti berjualan ditengah panas terik.



Disaat yang bersamaan mereka mulai menyadari bahwa begitu berat perjuangan para pedagang kecil ini. Mereka merasakan bangun dini hari (ada yang jam 2 pagi) dan kemudian harus belanja ke grosir/agen untuk mendapatkan produk dengan harga murah karena modal terbatas. Dari sana harus ke pasar, mencari tempat untuk menggelar dagangan. Jangan dipikir mereka bisa menyewa lapak, modal Rp.30.000,- sebagian besar digunakan untuk membeli produk. Jadi menggelar dagangan dipinggir jalan, disudut toko adalah yang paling mungkin.


Menggelar lapak
Tugas ini adalah bagian dari kelas Social Entrepreneurship untuk mengenalkan yang namanya 'EMPATI' sehingga mahasiswa dapat memahami apa maksud kata ini.

Kata ini sudah semakin pudar dalam kehidupan modern ini. Miris rasa hati melihat beberapa kejadian ditanah air karena pudarnya empati. Ada kisah bagaimana sekumpulan anak muda yang menginjak-injak taman bunga hanya untuk berfoto, ada juga kisah seorang anak difasilitasi dengan fasilitas negara karena jabatan orangtuanya, atau yang paling sederhana saja ketika seorang berkuasa minta didahulukan dalam sebuah antrian.

Namun ditengah kemirisan ini, semakin banyak anak muda yang menggagas aktifitas yang mengasah empati, seperti crowdfunding untuk membantu orang lain.

Dan dari tugas Empati ini ada beberapa pernyataan dari mahasiswa setelah memperoleh pengalaman di pasar tradisional yaitu tidak akan menawar habis-habisan saat belanja di pasar tradisional. Jika di supermarket dia bisa beli sayuran dengan harga 2-3 kali lipat lebih mahas, ia merasa malu jika harus menawar serendah-rendahnya di pasar tradisional yang keuntungannya tidak seberapa.

Dan tentunya diharapkan empati ini bukan hanya ditugas saja namun bisa diaplikasikan didalam kehidupan sehari-hari.

Selamat berakhir pekan, selamat mudik dan hati-hati dijalan.

"Empathy is not walking in another's shoes. First, you have to remove your own" (Scott Cook)

#Catatanakhirpekan



1 comment:

masnadek said...

Akirna artikel muncul juga..

Sukses slalu uni :)