Dipublish di Kompasiana, 13 Agustus 2011
Nama Donny Dhirgantoro masih asing ditelinga saya,
walaupun karya perdananya, novel 5 cm, telah dicetak berulang kali dan
saat ini dalam proses untuk di filmkan. Saat membaca deskripsi novel
ini, sebenarnya saya urung membelinya maklum dengan 418 halaman bagi
saya cukup tebal untuk seorang pengarang yang saya belum pernah baca
karyanya. Tapi sepotong sinopsis di situs buku online itu, membangkitkan
rasa penasaran saya.
“Ini bulutangkis, dan ini Indonesia, dimana
impian dibawa kedunia nyata……. Dan, perempuan Indonesia dengan segala
keterbatasannya itu memutuskan untuk melawan, memutuskan untuk terus
berjuang demi impiannya, memutuskan untuk terus mencintai hidup yang
tidak pernah sempurna”.
Kata mimpi dan perjuangan adalah kata-kata yang
sangat saya sukai dan akrab dengan keseharian saya. Dan setelah membaca
novel tebal dengan sampul merah menantang ini, saya beranikan diri
menulis resensi pertama saya tentang buku ini.
Secara runut, novel ini mengisahkan bagaimana keluarga kecil yang terdiri dari papa, mama, Gita dan Gusni, sangat mencintai dunia bulutangkis. Gita merupakan atlit perempuan andalan Indonesia, sosok pekerja keras dan pantang menyerah dalam setiap pertandingannya. Sementara itu Gusni adalah seseorang yang bertubuh tambun tapi gesit dan lincah. Terlahir dengan bobot 7.5kg dan selalu membawa raket nyamuk listrik karena kecintaan nyamuk untuk menyedot darahnya. Keduanya dibesarkan dan dididik dengan penuh kasih saying oleh papa dan mama.
Gusni yang menjadi tokoh sentral novel ini pada
usianya yang ke-18 tahun harus menghadapi kenyataan pahit yang selama
ini disimpan rapat keluarganya. Papa mengungkapkan rahasia penyakit
Gusni. Alur cerita yang penuh keceriaan dan kejenakaan yang acap membuat
saya geli berubah menjadi cerita tentang cinta, mimpi dan perjuangan
meraih mimpi. Disini Donny berhasil membuat saya berkali-kali mengusap
mata haru dengan perjuangan Gusni untuk bertahan hidup melalui
bulutangkis. Walaupun tubuh tambun berbobot 125 kg ini sering diejek dan
terlihat aneh dilapangan bulutangkis.
Tapi Gusni adalah seorang pejuang yang menggali
kelebihan dari kekurangannya tidak ingin menyerah jika waktunya diatas
dunia habis. Ia ingin dipanggil dalam kondisi sebagai seorang pejuang
dan bukan pecundang. Begitupun ketika keluarganya hampir menyerah, Gusni
membangkitkan kembali harapan yang ada karena hidup adalah perjuangan
dan ia ingin kedua orangtuanya menjadi saksi perjuangannya di atas dunia
ini.
Disini, banyak kata-kata pembakar semangat dan
membuncahkan rasa nasionalisme mengalir . Bercerita tentang mimpi dan
kerja keras, memberikan batasan antara mimpi dan realitas, dan
memberikan definisi bagi kata pembual dan pejuang, seperti kata pak
pelatih, “..Dan mimpi saja tidak akan pernah cukup….dan
sebuah impian memang seharusnya tidak perlu terlalu banyak
dibicarakan,….tetapi diperjuangkan”.
Dan sampailah pada bagian akhir novel ini. Tidak
pernah saya menyangka akan terhanyut dengan suasana pertandingan yang
digambarkan. Teriakan penonton, “IN..DO..NE..SIA” yang membahana didalam
stadion, kostum merah dan putih, kibaran sang dwiwarna dan teriakan
penyemangat lainnya seperti yang biasa kita saksikan dalam
pertandingan-pertandingan bulutangkis di Indonesia, tersaji dalam
untaian kata. Wajar saja antusiasme ini menjadi musuh kedua dalam setiap
pertandingan olah raga internasional di negeri ini, karena setiap
pertandingan itu bukan milik pribadi atau segelintir orang saja tapi
milik segenap masyarakat Indonesia. Novel ini berhasil menjawab
antusiasme dan euphoria yang selalu muncul jika ada perhelatan olahraga
internasional ditanah air tercinta ini.
Klimaks novel ini menghadirkan pertandingan antara
Indonesia versus Malaysia. Entahlah, saya tidak tahu apakah karena
berbagai permasalahan yang ada dengan negeri jiran ini sehingga tak
jarang membuat dada ini terasa sesak saat membaca kalimat demi kalimat
yang menggugah rasa kebangsaan. Namun, apapun alasannya novel ini secara
lugas menyentil rasa nasionalisme atas negeri ini ditengah segala
permasalahannya, dengan segala ketidaksempurnaannya. Ah, mungkin juga
karena nuansa sekitar saya menjelang hari kemerdekaan RI ke 66 ini yang membuat saya acap tercekat haru.
Banyak sekali kata-kata inspiratif di novel ini
yang membuat kita merenung dan menyadari hakekat hidup, baik sebagai
individu, keluarga ataupun bangsa. Ya, hidup adalah perjuangan. Novel ini
mengajak pembaca untuk tidak pernah berputus asa dengan segala
ketidaksempurnaan yang ada disekitar kita. Ketidaksempurnaan yang harus
disyukuri dan dicintai agar manusia terus berani berjuang meraih mimpi.
Memutuskan untuk berani mencintai, dan mencintai dengan berani, demi
diri pribadi, keluarga, bangsa dan negara tercinta.
No comments:
Post a Comment