Kecelakaan Pesawat Ulang Alik Challenger (source: Google) |
Banyak sekali tragedi complex socio-technical system dalam
catatan sejarah perkembangan teknologi dunia. Beberapa contoh dari tragedi ini
adalah meledaknya pesawat luar angkasa Challenger, 28 Januari 1986, yang
kemudian diikuti dengan meledaknya pembangkit listrik tenaga nuklir Chernobyl pada
26 April 1986. Dan beberapa waktu lalu adalah tragedi bocornya pembangkit
Fukushima sebagai dampak tsunami Jepang, 11 Maret 2011.
Sedangkan didalam dunia penerbangan
sendiri, beberapa major accidents juga
mengakibatkan tingginya angka korban seperti tragedi Tenerife yang melibatkan KLM
flight 4805 dan Pan Am flight 1736 pada 27 Maret 1977, Japan Airlines flight
123 pada 12 Agustus 1985 atau tragedi 9/11 tahun 2001.
Dari contoh tragedi diatas dapat kita
simpulkan bahwa sistem yang kompleks ini berpotensi mengakibatkan dampak yang
luas jika terjadi suatu insiden ataupun kecelakaan. Dampak ini baik secara operasional
dan organisasi, dan bisa meluas hingga ke sosial-ekonomi. Jika ini terjadi,
maka kecelakaan yang awalnya bersifat tunggal berkembang menjadi disaster (bencana) atau bahkan krisis.
Dampak yang luas dari suatu kecelakaan
pada sistem kompleks ini bisa dilihat bagaimana sejarah mencatat kecelakaan Pan
Am flight 103 tanggal 21 Desember 1988 telah menjadi pemicu ditutupnya maskapai
Pan Am yang memang pada saat itu juga sedang mengalami krisis finansial. Hal
yang sama juga terjadi pada maskapai Swiss Air yang mulai kolaps setelah
kecelakaan SR111 yang bertolak dari New York menuju Jenewa pada 2 September
1998. Didalam negeri sendiripun kasus yang sama bisa dilihat dengan ditutupnya
maskapai Adam Air yang dipicu oleh insiden DHI 782 tanggal 11 Januari 2006 dan hilangnya
DHI 574 tanggal 1 Januari 2007.
Perkembangan analisis kecelakaan saat
ini menganalisa kecelakaan penerbangan sebagai satu kesatuan (satu sistem) dan
bukan hanya merupakan event yang terpisah. Konsekuensinya, insiden atau
kecelakaan didalam dunia penerbangan dilihat sebagai produk dari sistem yang
kompleks.
Nah, sekarang apa sih complex socio-technical system itu? Seperti
halnya socio-technical system lainnya
(misalnya IT), sistem ini memiliki 2 aspek, yaitu social dan technical,
jadi disini ada interaksi antara manusia dengan teknologi. Namun yang
menjadikan sistem ini memiliki high
hazards adalah kompleksitasnya.
Kompleksitas pada sistem ini terjadi
karena banyak hal, beberapa contohnya adalah:
- Banyaknya unsur didalam sistem, sehingga terjadi interaksi yang kompleks. Interaksi ini terjadi terus-menerus baik yang bersifat tunggal (manusia dengan teknologi, manusia dengan manusia), grup/kelompok (misalnya ATC dengan flight crew) atau organisasi (misalnya operator dengan regulator, operator dengan manufaktur, regulator dengan legislator);
- Keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas sistem akan meningkatkan kompleksitas. Contohnya penggunaan teknologi terbarukan atau penerapan prosedur/peraturan baru akan berdampak pada perubahan diseluruh sistem.
- Sistem akan semakin berkembang sejalan waktu karena semakin intensnya interaksi serta semakin banyaknya unsur didalam sistem. Misalnya semakin banyaknya maskapai penerbangan, dibangunnya sejumlah bandara baru atau semakin tingginya trafik penerbangan, akan menyebabkan semakin kompleksnya suatu sistem.
Akibat dari kompleksitas diatas, maka
interaksi antara manusia dan teknologi rentan terhadap unsafe acts yang kadang tidak bisa diantisipasi.
Hal inilah yang menjadi salah satu
dasar kenapa yang ingin dicapai dari suatu sistem yang kompleks bukanlah ‘zero accident’ atau ‘zero defect’ tetapi resilience alias ketahanan suatu sistem yang dalam perjalanan waktu
akan menghadapi berbagai macam perubahan dan kondisi. Disini kemampuan sistem
untuk beradaptasi dengan segala perubahan itu akan meminimalisasi konsekuensi
negatif, seperti terjadinya insiden atau kecelakaan.
Jadi sistem safe itu bukan karena tidak adanya insiden atau kecelakaan yang
terjadi, tetapi karena insiden atau kecelakaan yang terjadi itu disebabkan oleh
faktor-faktor baru dan tidak bisa diantisipasi karena perkembangan kompleksitas
sistem tersebut. Sebaliknya jika insiden atau kecelakaan yang terjadi akibat
faktor-faktor yang sama maka sistem unsafe.
Misalnya ketika ditemukan isu IRS pada
Adam Air flight DHI 574 yang hilang dengan 102 penumpang dan kru di Makassar
juga ditemukan isu yang sama pada flight DHI 782 yang mengalami insiden hampir
1 tahun sebelumnya. Hal yang sama juga berlaku pada isu MAATS dikedua kejadian
diatas. Walaupun secara teoritis tidak ada dua kejadian yang persis sama
penyebabnya, namun pada beberapa kejadian ada benang merah yang memperlihatkan
bahwa faktor-faktor yang berkontribusi pada kejadian adalah sama. Hal ini
berarti sistem unsafe karena terjadi
dua kejadian dengan benang merah yang sama.
Berbeda halnya dengan insiden Garuda
Indonesia GA 880 tanggal 23 November 2001yang ditemukannya failure mode dari kombinasi termal dan mekanikal yang berasal dari
tersumbatnya cooling air holes karena
proses plasma coating. Faktor ini merupakan
faktor yang tidak terantisipasi sehingga tidak bisa dilakukan tindakan
preventif, jadi sistem masih dikategorikan sebagai sistem safe. Namun jika kejadian yang sama terulang kembali, maka sistem
dinyatakan unsafe karena
ketidakmampuan belajar dari kejadian dimasa lalu.
Jika kita bawa analisis ini satu level
lebih tinggi, yaitu ke makro level alias level nasional maka ketika terjadi
rentetan kejadian baik insiden maupun kecelakaan dalam suatu periode tertentu,
maka kondisi tersebut merupakan warning
signals bahwa sistem dunia penerbangan nasional unsafe sehingga perlu dilakukan investigasi menyeluruh untuk
mengidentifikasi kondisi faktual sistem dan melakukan perbaikan.
Hanya saja, pada umumnya, suatu sistem
tetap menggunakan prosedur dan mekanisme yang sudah ada hingga berbagai
kejadian berupa insiden atau kecelakaan harus terjadi dahulu sebagai bukti
bahwa sistem butuh dievaluasi.
Idealnya, suatu sistem yang kompleks
harus melakukan monitoring dan
evaluasi secara berkala disegala level, mulai dari regulasi hingga
implementasi. Hal ini untuk mengantisipasi faktor-faktor yang baru atau
terabaikan dan bisa membahayakan sistem. Dengan teridentifikasinya
faktor-faktor ini, improvement bisa
terus dilakukan.
Sayangnya, insiden atau kecelakaan didalam dunia penerbangan
seringkali dilihat sebagai kejadian tunggal
dan dianalisa secara terpisah, sehingga evaluasi secara periodik sepertinya
dianggap tidak perlu dilakukan.
No comments:
Post a Comment